Sorry for typos.
No Edit
Enjoy!
**
"Tante Maura?" tanyaku terkejut. Ada urusan apa tante Maura meneleponku sepagi ini. Cemas dan bingung bercampur jadi satu.
"Mama, Ica. Mama," ujarnya tegas.
Aku meringis kemudian mengiyakan ucapannya. "Iya, Ma. Ada perlu apa telpon Ica sepagi ini?"
"Mama mau undang kamu makan malam di rumah. Sudah lama sekali kamu tidak mampir padahal kuliah di Jakarta juga 'kan kamu? Tidak pulang ke kampung halaman ayahmu 'kan?"
Aku bergumam. Berpikir apa aku harus memenuhi undangannya dengan risiko menjawab pertanyaan yang mungkin saja tidak mampu akujawab. "Lihat nanti, ya, Ma. Soalnya belakangan ini kantor sibuk banget."
"Halah kamu kemarin lihat nanti dan akhirnya kamu nggak datang. Jangan menolak Mama dengan kalimat itu lagi, Ca."
"Aku ngak bermaksud menolak, Ma," dustaku. Belakangan memang aku mahir sekali berdusta dan aku sudah tidak takut lagi kalau alibiku buruk. "Ica serius saat bilang kantor lagi sibuk banget." Sambungku dan aku mendengar gerutuan.
"Mama nggak peduli, kamu harus makan malam di rumah."
Setelah itu sambungan terputus tanpa aku bisa menolak lebih keras. Aku mengehela napas berat. Lagi. Untuk kesekian kalinya seaakan itu adalah rutinitasku.
Aku kembali ke meja namun aku tidak menemukan Putri di sana. Mungkin anak itu harus mengambil dokumen. Kuputuskan untuk membuka email dan membalas beberapa email yang masuk atau aku meneruskan ke bagian lain yang berwenang. Selagi meneleti email masuk, PHBX-telepon kantor-berbunyi dan karena ruangan ini masih sangat sepi dan Putri-anak magang-tidak ada di tempat maka aku yang harus menerimanya.
"Selamat pagi," sapaku dengan ramah.
"Ini Oki, perbalnya sudah ditandatangan Bapak, bisa langsung diambil."
Aku membatu sekian detik sebelum berdeham dan mengiyakan. "Nanti aku ambil, Mbak. Terima kasih," ucapku canggung.
"Oke, assalamualaikum." Setelah itu sambungan terputus sebelum aku sempat menjawab salamnya.
Sepertinya sudah lama aku tidak bertemu dengan Mbak Oki, selain karena sekarang urusan distribusi ditangani oleh Putri, Mbak Oki juga baru masuk setelah acara tujuh bulanan yang lalu dan mungkin sebentar lagi ia akan mengajukan cuti melahirkan.
Aku baru saja ingin bangkit dan menuju ruangan mbak Oki dan kini telepon masuk untuk luar kantor berbunyi. Jarang sekali telepon ini berbunyi kecuali pegawai ruangku yang menelpon. "Assalamualaikum, ini Jani."
"Jan, ini Ibu Shanty, hari ini izin nggak masuk. Aku fax surat dokternya, ya."
"Oh iya, Bu. Memang Ibu sakit apa?"
"Gejala thypus, Jan. Ibu nggak masuk sampai Jumat, tolong dihandle ya pekerjaan Ibu."
"Iya, Bu. Cepat sembuh, ya. Oke bisa langsung kirim aja." Setelah itu aku menekan tombol dan tidak lama lembaran kertas keluar.
Aku akan mengantar surat dokter ini setelah ke ruang mbak Oki, jadi aku bisa beralibi dengan karyawan lain kenapa aku buru-buru meninggalkan ruangan mbak Oki padahal hari ini tidak begitu sibuk. Dalam keadaan normal, jika kantor sepi maka aku akan tinggal di ruangan mbak Oki, entah hanya untuk duduk atau makan karena Bapak suka membawa makanan jika selepas dinas luar.
"Eh, ada surat masuk, Mbak?"
Aku menoleh dan melihat Putri menghampiriku. "Iya, ini lagi mbak catat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jannisa
General FictionJannisa Nasution (24 tahun) mencintai Achmed Aldino Riyadh sendirian selama 6 tahun hidupnya. Mencintai sahabat sendiri. Terdengar klise. Sampai di suatu ketika Jannisa berani mengatakan keresahan hatinya. Apakah kisah ini akan seperti dongeng disne...