Sorry for typos.
Enjoy!******
Malam setelah kami pergi kencan dan bertemu dengan Ellie, sikap Aldi berbeda. Dia yang biasanya berisik setelah bertemu Ellie dia sedikit bicara. Aku tahu alasan untuk sikapnya itu.
"Di, mau aku buatkan sesuatu?" tanyaku saat melihatnya duduk di bar stool sembari meminum air mineral.
"Enggak, thankyou," sahutnya singkat.
"Kamu mau tanya ses–"
Ucapanku tak terselesaikan karena handphone miliknya berdering. Aku melihatnya berjalan menjauhiku, duduk di sofa ruang keluarga.
Aku mau tahu siapa yang menelponnya malam hari seperti ini. Sebenarnya aku curiga Melody yang menelepon Aldi. Meminta pria itu untuk kembali ke rumahnya.
Aku menghampiri Aldi sambil membawa piring yang berisi buah-buahan. Baru saja aku ingin mencuri dengar percakapan suamiku itu tetapi ia sudah lebih dahulu mengucapkan salam penutup.
"Siapa Di?" tanyaku berusaha bersikap biasa saja. Kuambil satu buah jeruk kemudian mengupasnya untuk kuberikan kepada Aldi.
"Mama. Dia ke tempat Melody dan nggak menemukan aku di sana. So, i have to go," ujarnya cepat secepat ia meninggalkan aku di apartemennya yang sepi ini. Bahkan jeruk yang kukupas untuknya belum tersentuh sama sekali oleh pria itu.
Aku menghela napas berat. Melepasnya ke tempat Melody bersama dengan masalah kami yang belum tuntas membuatku takut. Ditambah di sana ada tante Maura di sana yang sudah pasti sangat mendukung hubungan mereka.
Seketika aku merindukan mama, ayah, Bulan juga kehidupanku saat masih sekolah dulu. Semua terasa mudah dan menyenangkan.
Aku tidak mau tidur di apartemen ini. Aku tidak mau tidur dengan rasa sepi ini. Tapi kalau aku memutuskan untuk pulang ke rumah kontrakanku maka Bulan akan curiga. Maka dengan berat hati aku memasuki kamar dan mulai berbaring di tempat tidur tanpa mengganti pakaianku.
Sejak awal aku menerima tawaran Aldi aku sudah tahu dan mengeti kalau aku akan selalu bersembunyi dari dunia. Aku siap oleh karena itu aku menerimanya. Tapi kini mengapa sakit sekali saat orang yang kucinta meninggalkanku di ruang sepi ini. Menjalankan suatu rencana memang lebih sulit daripada merencanakannya. Apalagi untuk akhir indah yang bahagia.
Saat sedang mencoba memejamkan mata–bermaksud untuk tidur–handphone-ku berdering. Mataku seketika membeliak dan dalam hatiku sangat mengharapkan Aldi menghubungiku. Tanpa membuang waktu segera kugapai handphone di nakas.
Mata terangku mendadak layu saat bukan Aldi yang menelepon. Sedikit enggan kujawab panggilan itu. "Hallo. Kenapa, El?"
"Gila! Ketus amat sih, Buk. Gue cuma mau hibur lo, Ca. Lo boleh cerita dan nangis kok. Gue akan dengar semuanya."
Aku terenyuh mendengar ucapannya. Walau sewaktu kami makan bersama tadi ia adalah orang yang paling menyudutkanku, meledekku tapi ia adalah yang terbaik.
"Ca, lo denger gue 'kan? Gue mau minta maaf kalau seandainya ucapan gue tadi banyak banget yang buat lo malu," ujarnya lagi karena aku hanya diam. Menahan tangis. Entah tangis haru karena sikap care Ellie atau hal lain.
"Lo baik banget, El. Lo yang terbaik," ujarku serak.
"Thats what friends are for, right? Memberi tanpa pamrih, saling dukung, dan bahagia bareng."
Air mataku menetes. Sedih rasanya saat harus menyebunyikan rahasia dari orang yang percaya pada kita, yang tulus menyayangi kita. Aku takut Ellie akan berbalik arah menjauhiku sama seperti Mbak Oki yang menjauhiku saat tahu kalau aku dan Aldi menjalani hubungan rumit ini.
"El, gue boleh nginep ditempat lo malam ini?"
"Tentu, Sayang. Siapin diri lo dan seragam lo. Gue jemput ya."
"Eh enggak perlu, El. Nanti gue ke sana sendiri," tandasku cepat. Mana mungkin aku membiarkan Ellie menjemputku. Bisa-bisa ia bertemu dengan Bulan dan adikku yang cerdas itu pasti curiga.
"Oke, gue tunggu ya, Babe." Setelah itu sambungan telepon terputus dan aku segera membereskan seragam kerja yang akan kugunakan esok juga surat dokter palsu yang sudah kudapatkan.
**
"Ayo masuk, Ca. Gue tadi beli pecel ayam buat makan kita," ujar Ellie sesaat setelah melihatku berdiri di depan pintu rumahnya.
"Sorry lama ya, gue beli ini dulu." Ellie membuka pintu rumahnya. "Gue pikir masih lama nyampenya ternyata lo duluan yang nyampe," ujarnya lagi.
Aku tersenyum. "Nggak masalah, El. Kayak sama siapa aja sih," kelakarku santai.
Kami masuk ke rumah Ellie yang sederhana tapi hangat. Ia berjalan ke arah yang kuyakini adalah dapur sedangkan aku duduk di sofa ruang teve.
"Ca, makan dulu ya." Aku beranjak menghampiri Ellie yang datang membawa piring juga plastik berisi pecel ayam.
"Gue juga tadi beli cemilan nih. Siapa tahu nanti laper lagi," ucapku sambil meletakan satu kotak donat di coffee table-nya.
"Wah makan besar nih!" seru Ellie kemudian membuka kotak donat itu dan mengambil satu donat rasa green tea.
"Zaman sekarang apapun yang ada green tea pasti laku. Apa perlu gue baluri tubuh gue dengan green tea biar laku juga, Ca?"
Aku terbahak mendengar ucapan konyolnya. "Bisa dicoba El, siapa tahu nanti jadi rebutan. Baru launching udah sold out." Tambahku tak kalah konyol dari ucapan Ellie.
"Gue sih maunya PO, Ca. Biar tahu dulu siapa aja yang mau. Kalau ready takut dianya nggak ready."
"Free ongkir nggak, El?"
"Khusus Jabodetabek free ongkir."
Kami tertawa terbahak-bahak karena ucapan kami yang absurd. Dulu saat sekolah kami sering melakukan hal konyol lainnya bersama teman kami yang lain. Bahkan Tante Ai—bundanya Ellie—juga termasuk dalam orangtua gaul yang suka ikut obrolan konyol kami.
"Seharusnya gue tahu kalau ucapan lo disambung akan semakin konyol," ujarku masih dengan tawa.
"Lebih asik punya teman konyol kayak gue 'kan? Asik, santai, dan ketawa itu wajib." Diam-diam aku membenarkan ucapannya itu. Ellie adalah yang terbaik. "Daripada lo kepikiran Aldi terus, nanti jadinya nangis. Mending haha-hihi sama gue." Sambungnya lagi membuatku melirik ke arahnya.
"Masih banyak ikan di laut. Lo bisa dapet yang lebih dari Aldi, yang pantas untuk lo. Pokoknya saat resepsi lo harus hadir dan tampil memesona. Siapa tahu ketemu jodoh lo kan di sana?"
"Seterpuruk apapun hidup perempuan, saat keluar kamar wajib tampil memukau. Nggak mau diledek sama teman SMA atau rekan si Aldi 'kan?"
Aku tersenyum mendengar ucapan Ellie yang panjang itu. Mungkin jika posisinya mudah dan sama seperti yang dipikirkan olehnya maka ucapannya itu tepat sekali. Tampil memukau untuk balas dendam. Tapi bahkan tampil memukau saja tidak cukup untuk terlihat. Karena aku adalah mutiara hitam—si cantik yang tersembunyi di dasar laut.
"Gue datang kok. Pasti," ujarku mantap. Seolah tak ada keraguan di diriku.
"Bagus! Itu baru Jannisa Batak Nasution!"
Aku melotot saat Ellie berujar seperti itu.
"Nggak perlu melotot. Ayo makan," ujar Ellie sambil terkekeh.
******
1030 kata.
11.09.17
08.45******
Hellow! Gimana untuk yang ini? Dapat berapa vote dan komen yaaaaa?Untuk beberapa bagian yang kontroversial akan aku privasi ya. Nggak masalah kan?
Xoxo
R. Nuraini
KAMU SEDANG MEMBACA
Jannisa
General FictionJannisa Nasution (24 tahun) mencintai Achmed Aldino Riyadh sendirian selama 6 tahun hidupnya. Mencintai sahabat sendiri. Terdengar klise. Sampai di suatu ketika Jannisa berani mengatakan keresahan hatinya. Apakah kisah ini akan seperti dongeng disne...