Sorry for typos (feel free untuk kalian bedah).
***
Aku hanya bisa berdiri kaku menatap Aldi, Melody dan Tante Maura berjalan bersisian menghampiriku. Mataku hanya terfokus kepada Aldi yang kini menatapku dengan sorot mata khawatir. Semakin mereka mendekat maka jiwaku ikut luruh dan saat mereka di hadapanku habis sudah jiwaku, tubuhku dan perasaanku.
"Ica! Tante kangen banget sama kamu." Biasanya aku menyukai sikap tante Maura yang ramah dan terbuka pada siapa saja, tapi kini aku benci. Aku benci melihatnya tersenyum ke arahku. Aku benci ia memelukku penuh rasa rindu sedangkan aku hancur melihatnya pergi bersama laki-laki yang tidak bisa aku akui sebagai suami dan juga perempuan licik itu.
"Ellie! Kamu juga nggak pernah main ke rumah lagi." Pelukan itu terlepas dan kini mataku dengan bebas melihat kea rah pasangan yang berdiri bersisian itu. Aku memalingkan wajah tidak sanggup melihat apa yang ada di hadapanku.
"Aku baru stay di Jakarta, Tan. Sebelumnya aku kuliah dan kerja di sana." Aku dengar Ellie menjawab dengan ramah. Sedangkan tante Maura tersenyum lebar kemudian ia memekik.
"Eh kalian sudah kenal dengan istri Aldi? Mereka baru nikah semalam tapi belum resepsi. Melody, sini kenalan dulu sama sahabat Aldi, Nak."
Melody menghampiri kami kemudian tersenyum lebar. "Mel sudah pernah bertemu dengan Kak Ica dan Kak Ellie, Ma," katanya disertai senyum yang masih terpatri di wajahnya. Tanpa disadari siapa pun, ia melirik ke arahku dan menyeringgai kecil.
"Oh baguslah kalau sudah pernah bertemu. Jadi Mel, Ica dan Ellie ini sahabat dekat Aldi, terutama Ica. Dari dulu Aldi selalu nempel sama Ica. Bener 'kan, El?"
Ellie mengangguk antusias. "Bener banget, Tan. Sampai dikira pacaran, tapi ternyata sahabat doang dan Ica ditinggal nikah Aldi." Ellie terkikik dan Tante Maura pun ikut terkikik. Seakan yang mereka bicarakan adalah hal lucu. Tanpa tahu di sini aku berusaha ikut tersenyum menanggapi lontaran ucapan mereka.
"Kamu nggak perlu cemburu ya, Mel. Ica ini sudah Mama anggap anak sendiri, adiknya Aldi. Walau usianya sama." Melody tertawa saat tante Maura mengelus sayang kepalanya.
Aku tidak tahu terlihat seperti apa diriku kini. Apa terlihat menyedihkan atau terlihat jahat. Mungkin semua orang melihatku sebagai wanita jahat, tapi sesungguhnya aku hancur tak tersisa. Bahkan cinta yang selama ini menjadi alasanku bertahan.
Aku berdecih. Cinta. Rasanya melelahkan sekali harus memperjuangkan cinta ini. Memperjuangkan semuanya sendiri. Apa aku harus mempertaruhkan hidupku untuk cinta? Bukankah seharusnya cinta bisa membuat orang bertahan hidup?
"Kalian sudah ada pasangan belum? Bawa ke resepsi ya, kenalkan sama wanita tua ini."
"Tante belum tua. Masih tetap gaul dan 10 tahun nampak lebih muda," ujar Ellie membuat tante Maura tertawa geli.
"Berati tante bisa gantiin BCL dong?"
Ellie, Tante Maura dan Melody tertawa sedangkan aku dan Aldi membatu. Saling bertatapan, berharap ia paham kalau kini aku berada di titik terendah.
"Nggak enak ngobrol sambil berdiri gini, nanti kita makan bareng, ya?"
"Aku ikut kemana Ica pergi, Tan."
"Ica nanti kita makan malam bareng, ya?"
Aku menatap tante Maura canggung. Aku perlihatkan senyum tipis demi rasa kesopanan. "Lihat nanti ya, Tan." Akhirnya aku memberi jawaban ambigu yang menurutku adalah bentuk penolakan secara halus.
"Kamu sakit?" Tante Maura menempelkan punggung tangannya ke keningku kemudian menangkup wajahku. Sorot mata teduh miliknya adalah kelemahanku. Mataku berembun. Aku tidak berani untuk berkedip, khawatir air mata yang secara impulsif datang akan tumpah.
Tante Maura belum melepaskan kedua tangannya dari wajahku. Ia masih menatapku dengan sorot mata teduh itu disertai senyuman tipis yang melengkung indah hingga ke mata. Tanpa terduga ia memelukku. "Kalau ada masalah kamu bisa cerita sama tante, Ca. Kamu tetap jadi kesayangan tante," bisiknya lirih dan sekuat tenaga aku menahan air mata ini agar tidak jatuh. Tante Maura mengecup kedua pipiku kemudian ia melepas pelukannya.
"Kalau begitu tante nggak mau ganggu acara belanja kalian. Selamat berbelanja. Jangan kalap, ya. Akhir bulan masih seminggu lagi." Tante Maura mengedip usil kemudian ia menjauhi kami diikuti oleh anak dan menantunya.
"Ca?"
Aku menoleh ke arah Ellie dan langsung memeluknya erat. "El, sakit banget jantung gue. Debarannya nggak seperti biasa. Paru-paru gue juga susah dipakai untuk napas, El. Gue kenapa El?" Aku terisak dalam pelukannya. Mengabaikan fakta di mana kami berdiri saat ini.
"El sakit banget. Rasanya sesak, El." Ellie mengeratkan pelukan kami. Ia mengusap punggungku tanpa berkata apa pun. Karena yang paling kubutuhkan adalah dipeluk dan didengar.
Ellie masih terus mengusap punggungku sampai aku lelah dan berhenti terisak hingga hanya tersisa air mata yang tidak berhenti mengalir. Aku masih memeluk Ellie erat. Enggan melepaskan peganganku saat ini. Sebuah pelukan akan sangat menguatkan diriku untuk tetap berdiri.
"Masih mau nangis?" tanyanya saat aku melepaskan pelukan kami.
Aku menghapus air mata yang sudah menghancurkan makeup-ku. Kini aku hanya bisa menunduk. Malu karena menjadi pusat perhatian.
"Ica, lo harus dengerin gue." Ellie mencengkram bahuku erat membuatku menatapnya. "Di dunia ini nggak hanya lo yang ditinggal menikah oleh laki-laki yang lo cinta. Ica yang gue kenal adalah perempuan kuat yang penuh ambisi, apa yang lo mau pasti bisa lo dapatkan. Dan asal lo tahu, di luar sana banyak laki-laki yang siap menjadi teman hidup lo. Di luar sana ada jodoh lo yang sedang menunggu. Jadi, jangan menjadi lemah karena cinta. Cinta itu menguatkan, Ca. Cinta itu memudahkan hidup lo, bukan membuat lo tersungkur. Ditolak dan ditinggalkan itu wajar. Sometimes you need to be rejected, supaya lo sadar dan bangkit." Ellie menatapku penuh kesungguhan. Sorot matanya sama sekali tidak menghakimi ataupun menggurui.
"Siap menjadi Ica yang penuh pesona?" tanyanya lagi dan aku hanya tersenyum tanpa menolak atau mengiyakan. Karena Ellie tidak tahu kalau saat ini aku bukan hanya ditinggal menikah oleh laki-laki yang aku cintai, tetapi laki-laki yang telah aku nikahi secara siri.
"Sekarang kita belanja, nanti nggak perlu dinner bareng mereka kita langsung balik aja. Gue antar lo sampai rumah dengan selamat." Ellie menarik tanganku membelah jejeran pakaian.
**
"Ica maafin gue banget."
"Iya, nggak masalah, El. Gue bisa pesan ojol," ujarku menenangkan. Baru saja Ellie mendapat telepon dari camat yang datang berkunjung ke rumahnya. Karena telepon dadakan itu acara belanja kami terpaksa harus terhenti walau sebenarnya belum puas mengelilingi mall ini.
"Sorry, Ca. Lagian aneh banget malam-malam gini bertamu," ujar Ellie menggerutu. "Oke gue pulang duluan, ya. Hati-hati di jalan, Ca," ujar Ellie kemudian ia melesat menuju basement.
Aku bersyukur karena Ellie tidak mengantarku pulang. Karena jika aku pulang ke rumah dan menjumpai Bulan di sana, adikku yang pintar itu akan melihat keganjilan yang terjadi kemudian masalah ini tidak akan menemukan penyelesaian. Malam ini sudah begitu melelahkan dan aku tidak ingin menambah beban lagi. Sudah terlalu banyak aku menghela napas dalam tetapi tetap saja masih terasa sesak dan mengganjal.
Selagi menunggu ojol pesananku tiba, aku mengirim chat ke Aldi, memintanya untuk pulang. Pesan itu langsung dibaca olehnya dan kini aku melihat pemberitahuan kalau ia sedang mengetik balasan pesanku.
Aku pasti pulang karena kamu adalah rumahku.
Pesan itu hanya kubaca tanpa membalasnya sampai ojol pesananku tiba dan aku tetap menjadi Ica yang segala halnya dilakukan sendiri dan selalu merasa sepi.
***
12.12.18Makan tuh rumah!
Sumpah nulis cerita ini tuh capek. Capek hati, capek riset. Kalian bacanya ikutan capek nggak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jannisa
General FictionJannisa Nasution (24 tahun) mencintai Achmed Aldino Riyadh sendirian selama 6 tahun hidupnya. Mencintai sahabat sendiri. Terdengar klise. Sampai di suatu ketika Jannisa berani mengatakan keresahan hatinya. Apakah kisah ini akan seperti dongeng disne...