Sorry for typos dan keanehan yang lainnya (terima jasa edit gratis).
Enjoy!******
Aku merunduk malu saat suamiku ini menatapku dengan intens disertai seutas senyum tipisnya. Semakin malu saat ia berjalan menghampiriku dan berbisik lirih, "Kamu sangat cantik," ujarnya disertai usapan lembut di pipiku.
Aldi semakin mendekatkan kepalanya ke arahku. Membaui aroma rambutku lalu mendaratkan ciuman ke pelipisku.
"Udah ah berangkat sekarang, lihat muka kamu yang merah karena malu itu bikin gemes banget jadi pengin ngerjain kamu terus."
Aku mendongak menatapnya bengis yang tengah menahan tawa.
"Ayo! Lihat kamu dan wajah tengil kamu buat aku mau cakar wajah kamu," ujarku ketus yang membuat tawa Aldi tak tertahankan.
Aku berjalan mendahuluinya keluar apartemen. Berusaha tutup telinga dari tawanya yang terdengar menyebalkan ... atau sebenarnya tidak sama sekali karena aku suka mendengar tawanya yang begitu alami.
"Kalau pergi bareng, suami jangan ditinggal di belakang dong, Istri," kata Aldi disertai genggaman erat di tanganku.
"Kalau muji yang benar dong, jangan campur ejekan juga." Aldi tertawa mendengar ucapanku. Ia membawa naik tanganku yang digenggamnya kemudian dicium tangan itu lama.
"Kamu cantik banget. Bertambah cantik setiap harinya," puji Aldi setelah melepas ciumannya. Ia menatapku dengan pandangan orang kasmaran membuat pipiku terasa panas.
Ini terasa aneh. Aku yang sebelumnya biasa saja menanggapi pujian atau gombalan kini merasa malu dan tidak tahu harus melakukan apa.
"Ayo cepat, Di!" seruku seraya melepas tanganku yang masih digenggamnya. Sebenarnya aku berusaha menutupi rasa maluku, tapi kini yang ada aku bersikap memalukan.
"Iya, Sayang. Selain semakin cantik, kamu juga semakin nggak sabaran, ya." Aldi terkekeh kecil kemudian merangkul bahuku. Perilaku yang sering dilakukan saat masih sekolah.
**
Saat kami masih di apartemen dan Aldi mengelus pipiku, aku merasa ada yang aneh di tangannya ... atau mungkin di jarinya.
Aku tidak mau menduga, tapi rasa penasaranku membuatku memberanikan diri untuk menghilangkan dugaan itu.
Dengan perlahan kusenderkan kepalaku di bahunya yang keras. Aku tahu mungkin saja hal ini mengganggu konsentrasinya dalam menyetir tapi biarkan saja, aku harus mencari tahu terlebih dahulu.
"Kamu ngantuk?" tanya Aldi sambil mengusap lembut kepalaku.
"Hmm," sahutku pendek. Kuraih tangan yang mengelus kepalaku—juga tangan yang digunakan mengelus pipiku—kemudian kulihat hal aneh itu.
Harusnya aku tahu dan bisa menahan diri dari rasa ingin tahu yang berlebih jika tidak ingin menelan kekecewaan.
"Cincinnya bagus," ujarku serak.
Aldi segera menarik tangannya. "Ca ...."
Bisakah aku mengatakan kalau aku kecewa? Aldi bisa dengan bebas memakai cincin pernikahan Melody, tapi cincin pernikahanku?
"Kita minggir dulu, ya."
"Nggak perlu, jalan aja. Aku mau tidur," ucapku menahan niatnya yang akan menepikan mobil.
"Tapi, Ca."
"Nggak masalah, Di. Aku oke, kok. Tapi aku mohon untuk hari ini jangan ada Melody di antara kita," kataku membuat kesepakatan.
"Okey, setuju. Dan hal pertama untuk menghilangkan dia hari ini adalah menyimpan cincin ini. Gimana?"
"Hmm, terserah," jawabku tak peduli. Moodku sudah terlanjur hancur hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jannisa
Ficção GeralJannisa Nasution (24 tahun) mencintai Achmed Aldino Riyadh sendirian selama 6 tahun hidupnya. Mencintai sahabat sendiri. Terdengar klise. Sampai di suatu ketika Jannisa berani mengatakan keresahan hatinya. Apakah kisah ini akan seperti dongeng disne...