Chapter 9 » Aura diculik?

23.8K 1.5K 115
                                    

Sania menghampiri putranya yang kini tengah duduk melamun di salah satu kursi depan ruangan Gibran. Ia tahu betul bagaimana sifat Devan karena nyaris menjiplak suaminya, hanya saja Devan sedikit lebih keras dari Darell. "Devan," panggilnya.

"Ya, Ma."

"Jangan terlalu diambil pusing. Gibran memang keras kepala, sama seperti kamu, tapi Mama yakin kalau akhirnya Gibran akan menuruti keinginan kamu."

"Aku hanya mau yang terbaik untuk Gibran, Ma. Kenapa anak itu sulit sekali diberitahu?"

Sania tersenyum tipis. Ia mengerti kalau sebenarnya Devan begitu mengkhawatirkan keadaan Gibran, tapi tidak tahu harus menunjukkan dengan cara apa.

"Mama mengerti apa yang kamu rasakan, tapi sebaiknya kontrol emosi kamu. Jangan justru membuat Gibran takut."

Devan membuang pandangannya ke arah lain, "Mama selalu saja membela Gibran."

"Memang apa yang salah? Gibran kan Cucu kesayangan Mama."

Devan menggerutu dalam hati, menyayangkan sikap sang mama pada Gibran. Mamanya itu tidak ada bedanya dengan Inka, selalu memanjakan Gibran. Kalau terus seperti itu, sampai kapan pun Gibran tidak akan sanggup berdiri sendiri.

***

Fauzi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia ingin segera pulang, lantas menemui Gibran. Namun hari ini berlangsung begitu lambat, mendadak ada pelajaran tambahan yang harus mereka ikuti, hingga akhirnya mereka pulang lebih sore dari biasanya.

"Pau, gelisah amat," Dania menatap laki-laki itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Dania paham betul bahwa Fauzi pasti begitu khawatir pada Gibran. Terlihat jelas perubahan raut wajahnya.

"Dan, mau ikut gue jenguk Gibran gak nanti? Gue kepikiran terus," Fauzi sedikit menunduk usai berujar demikian. Tentu kekhawatirannya bukan tanpa alasan, apa yang dikatakan Gibran kemarin jadi membuatnya berpikir kalau itu tidak main-main.

Dania mengerutkan dahi. Fauzi yang pecicilan, bisa langsung sediam ini hanya karena seorang Gibran? Diam-diam Dania memuji kuatnya persahabatan mereka. "Boleh deh," sahutnya. "Aura, lo mau ikut?" Dania mengalihkan pandangannya pada Aura.

"Hah? Eh... emh, boleh," jawab Aura.

"Gibran pasti langsung sembuh lo jengukin," Fauzi menimpali sembari melemparkan senyum menggoda pada Aura.

"Najis lo, Pau. Gue pikir udah waras, taunya masih aja sedeng," Dania menatap tak suka laki-laki yang duduk di bangku sebelahnya.

"Abang salah mulu, Yang. Cium nih cium," Fauzi memajukan bibirnya berlaga seolah ia akan benar-benar mencium Dania.

Bugh

"Cium noh pantat anoa!" Dania memukul pelan bibir Fauzi dengan buku paket Bahasa Inggrisnya.

"Sakit, Yang."

Aura hanya terkekeh menatap dua orang ini. Seperti biasa, percekcokan mereka memang jadi hiburan tersendiri baginya. Dan karena kelucuan mereka pula, ia sedikit melupakan kekhawatirannya pada Gibran. Tunggu. Khawatir? Bukankah pada awalnya Aura benci dengan Gibran? Lalu apa sebabnya iamenjadi begitu khawatir? Apakah benih cinta mulai tumbuh di hati Aura karena segala hal yang Gibran beri padanya. Bukankah cinta memang tumbuh karena terbiasa? Sudahlah.

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang