Hari ini seluruh peserta didik memasuki tahun ajaran baru. Setelah libur panjang, ini pertama kalinya lagi mereka kembali ke sekolah. Ada sebagian yang menyambut dengan antusias sedangkan sebagian lagi memasang wajah malas karena masih betah liburan. Padahal ketika berlibur, terkadang kita akan merindukan sekolah, tapi kenapa ketika masuk sekolah justru merasa malas?
"Selamat tinggal hari libur, aku kan melangkah. Maafkanlah segala yang pernah kulakukan padamu," seorang remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun bersenandung penuh percaya diri, meski suaranya tidak bisa dibilang bagus.
Gibran Febrian Emeraldi Utama, cucu pemilik sekolah. Rambut pirang serta mata coklatnya menggambarkan dengan gamblang kalau dia bukanlah murni keturunan orang Indonesia. Gibran merupakan anak blasteran Indonesia-Canada. Devan yang tak lain ayah Gibran merupakan laki-laki keturunan Canada, namun ketika berusia sepuluh tahun ia diboyong kedua orang tuanya ke Indonesia, menetap dan berganti kewarganegaraan. Hingga akhirnya beberapa tahun kemudian ia menikahi gadis berdarah sunda Inka Nauradilla yang kini berstatus sebagai ibunda Gibran.
"Lo tinggalin liburan kayak mau tinggalin pacar. Ampun dah," Fauzi mencibir. Ia selaku teman sekaligus sahabat dari Gibran terkadang risih dengan kelakuan sahabatnya yang sedikit abnormal.
"Bodo. Sirik aja."
"Kalau gue jadi cewek, asli ilfeel sama lo. Menang keren doang, kelakuan minus."
"Berarti Uji ngakuin dong kalau Gibran keren," kata Gibran seraya menaik turunkan alis tebalnya.
"Najis lo. Eh, Bu Nadine tuh. Ngumpet sana! Selamatkan sepatu lo, kalau enggak mau berakhir nyeker!"
Gibran menepuk keningnya, "Oh iya sepatu gue. Jangan sampai diambil lagi. Gila aja, ini sepatu masih baru."
Fauzi menatap kepergian Gibran dengan tatapan takjub. Entah kemana kini sahabatnya itu pergi karena takut sepatunya disita. Bukan sekali dua kali Gibran harus merelakan sepatunya berakhir di ruang BK, tapi memang dasarnya anak laki-laki itu senang berulah, jadi selalu saja ia melakukan kesalahan yang sama.
***
Selamat pagi nona Au. Semoga hari ini menyenangkan.
-Raka-
Aura tersenyum kecil membacanote dari kekasihnya yang terselip dalam sebuah buket bunga. Gadis itu berucap lirih, "Makasih, Kak."
Memang itulah yang selalu dilakukan Raka setiap pagi, mengiriminya bunga. Bunga mawar putih kesukaannya. Terkadang Aura sedih karena tidak bisa bertemu atau berkomunikasi dengan Raka secara langsung. Itu syarat yang pernah diajukan Raka jika ingin menjalin hubungan dengannya. Raka selalu beralasan jika ia ingin fokus kuliah, jadi hanya akan mengabari ketika sempat. Itu pun hanya berbentuk pesan tertulis tanpa bisa bercakap-cakap langsung. Awalnya Aura tak mau ambil pusing, toh itu demi masa depan mereka nanti 'kan? Sudah sejauh itu ia berpikir. Entahlah, tapi ia sangat percaya kalau nanti dirinya dan Raka pasti bisa bersanding di pelaminan meskipun terganjal perbedaan agama.
Aura berjalan ke kamar, menyimpan buket bunga yang diberikan Raka, kemudian mengambil tas untuk berangkat ke sekolah. Sejak beberapa menit yang lalu Dania—sahabatnya sudah menerornya dengan pesan-pesan berisi rentetan pertanyaan.
Sementara di tempat lain, hampir lima belas menit Dania menunggu sahabatnya di depan gerbang, namun Aura belum juga menunjukkan batang hidungnya. Gadis dengan rambut sebahu itu tak henti menggerutu, "Ih parah lama banget, keburu bel nanti."
"Hallo cantik," sapa Fauzi. Setelah tadi Gibran melarikan diri, Fauzi memang memutuskan menemui gadis cantik yang tengah berdiri seorang diri di depan gerbang.

KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN
Ficção AdolescenteDua hal yang paling dekat dengan manusia yakni mati juga patah hati. Seperti apa yang dialami seorang gadis belia berusia tujuh belas tahun, Belva Aura Naila Shafa. Raka Christian kekasihnya dalam sekejap berhasil melunturkan senyum tulus yang selal...