Inka dan Sania berjalan beriringan kembali ke ruangan Gibran. Keduanya sesekali tampak berbincang serius, jelas saja kalau mereka tengah membicarakan kondisi Gibran. Inka juga menyampaikan curahan hati Gibran tadi pada mama mertuanya karena Inka yakin sang mama mertua bisa melunakkan hati suaminya.
"Mama akan mencoba bicara pada Devan supaya mau meluangkan sedikit waktunya. Mama tahu kalau kenakalan-kenakalan Gibran hanya untuk mencuri perhatian Devan," kata Sania lembut.
"Terima kasih, ya, Ma."
Sania mengangguk. "Oh iya, nanti malam cucu Mama boleh pulang, 'kan?"
"Karena Gibran terus memaksa minta pulang, nanti malam setelah infusnya habis dan keadaannya membaik dokter mengizinkan pulang, tapi kalau kondisi lambungnya tidak juga membaik, Dokter Adrian akan benar-benar melakukan endoskopi untuk melihat kondisi lambung Gibran."
"Kalian jangan terlalu sibuk di luar. Sekarang lihat sendiri akibatnya, karena terlalu sibuk kalian sampai tidak menyadari kalau Gibran sebenarnya sudah ada keluhan enam bulan belakangan ini."
Inka diam. Ia membenarkan ucapan mama mertuanya.
Tiba di depan ruangan rawat Gibran, keduanya dibuat terkejut melihat ruangan itu tampak kosong. Infus sudah terlepas dari pemiliknya, bahkan tampak pula bercak darah tercecer di lantai.
"Gibran?" Inka berlari mendekati tempat tidur putranya, lalu melongok ke arah kamar mandi, dan ternyata nihil. Gibran tidak ada di mana pun.
"Gibran ke mana, Inka?" tanya Sania.
"Aku enggak tahu, Ma." Inka berjalan tergesa keluar kemudian berteriak, "Dokter! Suster!"
Tak berselang lama, beberapa perawat menghampirinya sembari bertanya, "Ada apa, Bu?"
"Ke mana anak saya? Gibran tidak ada di ruangannya. Dia ke mana? Bukankah tadi saya menitipkannya pada kalian?" ujar Inka dengan amarah yang sudah memuncak.
"Ada apa ini?" Devan yang baru saja datang dibuat bingung begitu melihat kepanikan di ruangan putranya.
"Gibran hilang, Mas."
Kelopak mata Devan melebar. "Kenapa bisa? Devan melempar tatapan tajam pada perawat yang berdiri tepat di depannya. "Kenapa kalian tidak benar-benar menjaga putra saya?"
"Maaf, Pak. Tadi anak Bapak meminta kami meninggalkannya."
"Kenapa kalian meninggalkannya? Bukankah kalian sudah diberi amanah untuk menjaganya?"
"Mas, sudah. Lebih baik kita cari Gibran sekarang." Inka berusaha meredam emosi sang suami walaupun sebenarnya ia sendiri juga marah.
Devan langsung melangkah keluar rumah sakit diikuti oleh Inka dan Sania. Menghampiri Audi putih yang terparkir gagah di bawah pohon akasia yang cukup rindang.
Devan menggeram kesal. Gibran selalu saja mencari masalah. Ia meremas stir mobil itu sampai urat hijau dan kebiruan menyembul di balik kulit putihnya.
"Gibran!"
"Devan hati-hati!" seru Sania melihat emosi suaminya yang sudah tiada ampun. Baru kali ini ia melihat Devan mengendarai mobil dengan kecepatan penuh.
![](https://img.wattpad.com/cover/80486115-288-k849716.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN
Teen FictionDua hal yang paling dekat dengan manusia yakni mati juga patah hati. Seperti apa yang dialami seorang gadis belia berusia tujuh belas tahun, Belva Aura Naila Shafa. Raka Christian kekasihnya dalam sekejap berhasil melunturkan senyum tulus yang selal...