Fauzi mengetuk-ngetukan jarinya ke meja sembari menunggu Gibran membereskan alat tulis. Ulangan matematika di jam terakhir sangat tidak menyenangkan. Otak mulai lelah, badan apalagi, panas, lapar, bagaimana mungkin sanggup berkonsentrasi? Sesekali Fauzi terdengar menggerutu, "Gue mending makan bakso pakai sambel enam sendok daripada belajar matematika. Kenyang kagak, mules iya," seloroh Fauzi.
Gibran melengos, "Lo bakal lebih mules kalau makan sambel sebanyak itu."
"Kenapa di dunia ini harus ada matematika, ya? Matematika itu rumit tahu nggak."
"Iya serumit cinta gue ke Aura."
Fauzi melirik sahabatnya, "Lo beneran kejatuhan lope, ya?"
Gibran meringis, "Ish... bahasa lo sok asik bener. Iya kayaknya, Ji. Sumpah cewek itu tuh beda banget."
Fauzi tersenyum penuh arti. Selama enam tahun mereka bersahabat, tak pernah sekalipun ia melihat Gibran bertingkah seperti sekarang. Terkadang Fauzi mati-matian menahan tawa jika melihat Gibran sudah berhadapan dengan Aura. Sahabatnya itu bisa tiba-tiba gugup, dan berbuat sesuatu yang menurutnya malah membuat Aura jengkel atau bahkan ilfeel. "Kalau lo cinta sama dia, harusnya mikir gimana caranya bikin dia tertarik sama lo, bukan terus-terusan berulah dan akhirnya bikin Aura risih."
"Gue deketin dulu aja kali, ya? Nanti temenan terus jadian," kata Gibran. Ia bertutur demikian tanpa beban, seolah mendekati, berteman, dan jadian dengan Aura itu semudah memakan kuaci.
"Enteng banget itu mulut. Jangan main kode, nggak semua cewek bisa baca kode kita walaupun sebenarnya mereka juga suka kode-kode dan berharap kita peka. Tunjukin keseriusan lo."
"Lo kok bisa tahu gitu sih? Kita kan sama-sama jomblo, tapi kayaknya lo mahir banget dalam urusan percintaan."
"Iya dong. Gue jomblo juga sering searching sana-sini untuk memahami perasaan cewek. Supaya gue bisa menaklukan cewek galak semacam Dania."
"Lo udah ditolak berkali-kali masih nggak nyerah, Ji? Heran gue, malu lo dimana?"
Fauzi mendesis sinis, "Gue jadi gak tahu malu semenjak suka sama Dania."
"Bukannya lo gak tahu malu dari dulu, ya?"
"Lupain! Pokoknya gue dukung lo sama Aura."
Gibran mengangguk semangat. Mulai sekarang ia bertekad untuk terang-terangan mendekati gadis itu. "Karena otak lo lagi encer, hari ini lo gue traktir."
"Kadal ya kamu."
Gibran tergelak begitu melihat reaksi yang ditunjukkan Fauzi. Persahabatan mereka memang terbilang unik. Keduanya tak segan adu mulut jika salah satu ada yang salah, main fisik pun pernah namun tak berlebihan. Intinya mereka tahu betul makna persahabatan. Saling mengingatkan ketika salah, saling menghibur ketika terluka, turut tertawa ketika sahabatnya bahagia.
***
Keesokan harinya, Aura kembali menerima buket bunga dari Raka. Untunglah ini tanggal merah, jadi Aura tidak usah terburu-buru seperti biasa. Baru masuk sekolah sehari dan sudah libur lagi, tentu menyenangkan. Namanya juga pelajar, dengan tugas seabrek terkadang membuat mereka ingin menikmati liburan lebih lama.
Seperti biasa Aura membawa bunga itu ke kamar. Entah sudah berapa banyak bunga yang dikirim Raka untuknya, tak terhitung pula berapa banyak kerinduan yang tersisip disetiap kelopaknya. LDR yang masih bisa bertelepon-ria saja tetap sering diterpa rasa rindu, apa kabar yang dekat tapi tak bisa berjumpa dan hanya bisa saling bertukar tulisan?
Selamat pagi Nona Au.
Semoga hari ini lebih baik dari sebelumnya.-Raka-
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN
Ficțiune adolescențiDua hal yang paling dekat dengan manusia yakni mati juga patah hati. Seperti apa yang dialami seorang gadis belia berusia tujuh belas tahun, Belva Aura Naila Shafa. Raka Christian kekasihnya dalam sekejap berhasil melunturkan senyum tulus yang selal...