Chapter 5 » Sick

35.3K 2.2K 73
                                    


Mentari pagi dengan gagah menampakan sinarnya, menyebar kehangatan pada seluruh penjuru dunia. Namun semua yang disuguhkannya tak mampu membuat si penghuni kamar bernuansa hitam putih itu terjaga. Gibran masih bergulung dengan selimut tebalnya. Bukan tidur, justru terdengar rintihan-rintihan kecil yang lolos dari bibirnya.

Ia terlihat tak nyaman dalam tidurnya, bergerak gelisah dengan tangan yang tak pernah lepas mencengkram titik rasa sakitnya. Sedari tadi tangan Gibran memberikan remasan kuat pada bagian perutnya yang terasa amat sakit. "Shh... "

Brakkk

Pintu dibuka dengan kasar hingga menimbulkan dentuman keras. Seorang laki-laki berkemeja biru dengan dasi yang tersampul di kerah kemejanya, serta dilapisi jas, masuk tanpa permisi. Devan menarik tubuh putranya dari tempat tidur secara paksa membuat Gibran terhenyak kaget.

"Bangun anak malas! Pintar tidak, sekolah jarang, mau jadi apa kamu?" cerca Devan seraya menyeret putranya masuk ke kamar mandi. Ia menghantamkan tubuh kecil Gibran ke dinding sampai membuat anak laki-laki itu mengerang tertahan. Devan langsung mengguyur Gibran dengan air. "Kamu itu maunya apa, Gibran? Apa salahnya sehari saja tidak membuat Ayah marah? Bangun pagi, sarapan, berangkat sekolah, dan belajar dengan baik. Buat Ayah merasa kalau kamu memang layak jadi anak Ayah."

Byurrrr

"Di... ngin, Yah."

"Mas!" sentak Inka. Wanita itu bergegas menghampiri putranya sebelum Devan kembali mengguyur Gibran, "gila kamu!" tambahnya.

"Pergi!" titah Devan.

"Mau kamu apakan anak kita? Gibran lagi sakit! Kamu gak tahu 'kan kalau kemarin Gibran sampai pingsan di sekolah? Ya, kamu nggak tahu karena kamu gak pernah mau peduli!"

"Dia sakit juga jelas karena ulahnya. Jangan terlalu dimanjakan! Anak seperti ini memang pantas diberi pelajaran!"

Inka menggeleng, benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir suaminya. Mengapa Devan begitu tega melontarkan kata-kata seperti itu? Suaminya memang tak punya hati. "Kalau kamu tidak tahu apa pun sebaiknya diam, dan aku minta kamu pergi sekarang!"

Devan melangkah keluar meninggalkan anak istrinya. "Manja!"

"Di... ngin, Bunda," lirih Gibran. Matanya menatap sang bunda pilu, seolah tengah meminta perlindungan.

Inka merengkuh tubuh Gibran, membantunya bangkit, lantas menuntunnya kembali ke kamar. "Maafin Ayah, ya, Sayang. Mungkin Ayah lagi capek dan banyak pikiran."

***

Sekolah digegerkan dengan ketidakhadiran Gibran, terlebih mereka yang sempat melihat Gibran dijemput bundanya kemarin karena sakit. Tak paham mengapa berita itu bisa menyebar dengan cepat.

"Yaampun pokoknya gue hari ini mau ke rumahnya, mau bawain makanan kesukaan dia."

"Emang lo nggak takut sama Pak Darell?"

"Kenapa harus takut? Gue kan mau jengukin Cucunya. Lagian 'kan Gibran nggak serumah sama Pak Darell."

Begitulah percakapan beberapa siswi yang samar-samar terdengar oleh Aura. Gadis itu hanya geleng-geleng tanpa berniat ikut campur. Dari dulu memang seperti itu reaksi yang ditunjukan oleh perempuan-perempuan itu, padahal jika mereka sakit Gibran belum tentu akan balik memperhatikan mereka.

"Aura!"

Aura menghentikan langkahnya lalu berbalik.

"Eh... lo tahu Gibran sakit? Emang kemarin gimana aja di UKS? Lo kan yang nemenin dia." Dari nada bicara Dania, nampak jelas kalau gadis itu penasaran.

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang