Pemuda itu berhenti melangkah saat menyadari Tana sudah terbangun, menatap gadis itu dari bingkai pintu.
Semuanya hanya berawal dari keinginannya untuk mengikuti Kompetisi terkutuk itu, dan disinilah ia, belum mati dan berada entah dimana dengan seorang pemuda aneh bersamanya. Lucu sekali.
Rambut perak berkilat di bawah cahaya kebiruan.
Kulit yang sangat pucat, hampir seputih salju.
Dan, mata biru kehijauan seperti air laut. Bukan biru, bukan pula hijau.
Ia mengenakan setelan biru gelap, dengan luaran seperti jas berwarna senada.Ia tidak pernah melihat warna mata seperti itu. Faktanya, tidak ada manusia normal yang terlihat seperti seperti itu.
Selama beberapa detik, mereka hanya bertatapan. Tana tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Lalu, pemuda berambut perak itu tersenyum. Gila. Senyumnya bahkan berbeda dari semua orang yang pernah dilihat Tana.
"Kau sudah bangun rupanya." Suara si Perak itu jernih, dan Tana terkejut bahwa ia menggunakan bahasa yang sama dengannya. Seharusnya ia memakai bahasa alien atau apalah.
Gadis itu tetap diam. Tana belum tahu apakah ia akan mempercayai pemuda aneh ini. Ia bahkan tidak tahu kenapa pemuda-bukan-manusia ini menyelamatkannya dan membawanya ke sini.
Hei, tunggu dulu.
Ia bahkan tidak tahu bahwa pemuda ini menyelamatkannya. Bisa jadi dia sedang mencari subjek penelitian baru dari sebuah planet antah-berantah, dan menemukannya mengambang di tengah-tengah puing perahu."Aduh!"
Sebelum Tana sempat mengatakan sesuatu, tangan kanannya memutuskan untuk berulah. Rasa sakit yang sempat hilang sejak ia bangun kembali mendera. Rasa sakitnya begitu kuat, hingga ia tidak sanggup menahannya dan jatuh terguling ke lantai ruangan.Gadis itu mengutuk tangan kanannya. Sekarang ia terkapar di lantai dengan kondisi yang tidak menguntungkan.
Sekarang si Perak sudah berlutut di sisinya, menawarkan tangannya untuk membantunya bangkit.
Tana menyambut tangannya dengan tangan kirinya yang masih sehat.
Si Perak tersenyum lagi. Hangat.
Lalu, gadis itu menariknya. Membantingnya ke lantai, menggantikan posisinya tadi. Ia menahan leher si Perak dengan siku.
Mata biru kehijauan itu tetap tenang.
Mata coklat Tana menyipit curiga.
"Siapa kau?" Gadis itu mulai berbicara.
Si Perak masih bungkam, menatapnya.
"SIAPA?" Tana menaikkan intonasi suaranya. Yang benar saja, pemuda ini sama sekali tidak berkutik sejak ia membantingnya ke lantai.
"Aru."
Setelah keheningan panjang, si Perak menjawab pendek. Ia melepaskan tangan Tana dari lehernya dengan kekuatan yang tidak disangka lalu bangkit menghadapi gadis sok tahu yang sekarang terdiam. "Terima kasih atas sambutan ramahnya, Nona Tana."
"Kau tahu ... ?" Gadis itu ikut bangkit berdiri. Aru? Nama yang aneh. Ah, tapi memangnya apa yang tidak aneh dari pemuda sarkastik ini.
Aru mengeluarkan kartu identitas Tana dari sakunya, menelengkan kepalanya seolah bertanya apakah gadis itu memang tidak mengerti.
Ruangan 5×5 meter itu tidak sepenuhnya hening. Ada dengungan lembut mesin yang sedang bekerja yang membuat Tana kembali ingin tahu di mana ia berada sekarang. Dan siapa sebenarnya Aru.
"Jadi ... Aru." Tana kembali berbicara. "Tidak bermaksud menyinggung. Apa kau bukan manusia?"
Aru mendengus. "Aku tidak tinggal di planet lain, jadi secara teknis aku masih manusia, bukan?"
"Kalau begitu dimensi lain?" Gadis itu terus bertanya sementara denyut di tangannya kembali terasa menusuk. Tana bukan seorang dokter, tetapi ia yakin setidaknya luka ledakan itu sudah terinfeksi dan menjalar ke seluruh lengannya.
Ia merintih sedikit.Pemuda itu menghela napas melihat keadaan Tana. "Aku hampir lupa. Ikuti aku."
Tana mengikuti Aru keluar dari ruangan, bertanya-tanya antara pemuda ini atau keadaan aneh ini yang membuatnya merasa gila juga.
***
Futuristik.
Itu satu kata yang bisa menggambarkan lorong dan ruangan-ruangan yang dilalui Tana. Cahaya kebiruan samar terus menerangi lorong, dengan beberapa laci yang tertanam di dinding.Beberapa pintu ruangan ada di sepanjang lorong pendek, satu paling ujung terbuka dan memperlihatkan ruangan penuh panel dan tombol kendali. Meskipun tidak mengenali insrumennya, Tana tahu jelas bahwa itu adalah ruang kemudi kapal.
"Ini kapal apa?" Tana bertanya saat mereka memasuki ruangan yang identik dengan ruangan sebelumnya, hanya saja ada sebuah lemari dinding di satu sisi.
Aru menoleh, menghentikan langkahnya. Ia tidak menyangka gadis ini bisa menebak tempatnya berada, karena miliknya sama sekali tidak terlihat seperti buatan orang-orang daratan.
"Kapal selamku, Luna."Gadis itu kontan teringat pada perahunya sendiri, yang diberi nama Solar, lawan dari Luna. Dengan segala kekacauan dan kejutan, ia baru saja teringat pada nasib perahu hadiah ibunya. Dan ayah tirinya. Apakah seluruh kejadian ini memang direncanakan sejak awal? Dan adiknya. Apa ia mengira kakaknya telah meninggal? Begitu banyak pertanyaan yang datang menyerbu, dan pikiran Tana terlalu lelah untuk menghadapi semuanya sekaligus.
Kemudian, pemuda itu meraih tangan kanan Tana dan melepas bebatnya. Tana menonton saat Aru menyuntikkan cairan bening ke dalam pembuluh darahnya.
Tidak terasa sama sekali.
Dan rasa sakitnya pun hilang seketika saat cairan itu masuk. Apakah ini obat penghilang rasa sakit yang lebih kuat daripada morfin?Seakan bisa membaca pikirannya, Aru menjelaskan. "Bukan. Ini bukan morfin seperti yang kalian pakai. Kami sudah lama menggunakan teknologi steam cell, regenerasi sel baru. Cairan yang baru kusuntikkan mengandung jutaan sel induk yang akan memulihkan tanganmu."
Tana tahu teknologi medis itu. Namun, sepertinya orang-orang Aru sudah mengembangkannya jauh lebih maju.
Aru menyisirkan jemarinya ke rambut peraknya. "Sepertinya akan lebih mudah jika aku menjelaskan semuanya dari awal."
"Pintar sekali."
Pemuda yang kelihatannya lebih tua itu tidak menghiraukan cemoohan Tana, dan mengisyaratkan agar ia mengikutinya keluar dari ruangan.
Aru terus berjalan melintasi lorong, sesekali menoleh untuk memastikan Tana untuk tetap mengikutinya.
Tana memutar bola mata. Seakan ia punya tempat lain untuk pergi di dalam kapal selam ini.
Terlalu banyak yang terjadi dalam waktu singkat, dan gadis itu belum memahami sebagian besarnya. Kepalanya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan.
Setidaknya, ia sudah pergi jauh, jauh sekali dari jangkauan ayah tirinya.
Itu lebih dari cukup.
***
Selamat hari kemerdekaan!
Terima kasih sudah mau baca sampai bab ini... sejujurnya agak kurang pede juga untuk bagian ini, tetapi insha allah kalau ada sesuatu yang salah bisa saya perbaiki. 💕First impression for our Aru? 😉
duh paling payah bikin adegan beginian, soalnya takut jd cheesy 😧Thanks for your support, dear.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aquatris
Science FictionTana Sanchez tinggal di Kepulauan Tenggara, satu dari delapan sub-negara kepulauan yang tersisa setelah arus gelombang memusnahkan hampir seluruh daratan dunia. Ia lebih suka berkeliaran dengan perahunya dibanding kuliah, untuk menghindari ayah tiri...