"Awas!"
Tana memutar kemudi, menghindari serangan ekor belut raksasa. Ia menyeka dahinya yang berpeluh, hampir 1 jam mereka masih berkutat dengan monster sialan ini. Dan sudah 3 kali mereka hampir mati karena ia tidak cukup cepat mengemudikan kapal selam. Aru terus meneriakkan perintah, terkadang bahkan mencoba mengambil alih kemudi.
Pemuda itu lagi-lagi menarik tangan Tana yang mengenggam kemudi dengan erat. Gadis itu menepisnya dengan kesal, sesaat mengalihkan perhatiannya dari kemudi kapal selam. "Apa yang kau inginkan?"
"Menyelamatkan kita berdua dari kematian, tentu saja." Wajah Aru terlihat sabar saat Tana menatapnya. Gadis itu merasa seperti seorang bocah keras kepala yang dimarahi ayahnya. "Biarkan aku mengemudi, sampai kita terbebas dari belut itu."
Tana menipiskan bibirnya. Ia tidak ingin berhenti. Tidak setelah ia merasakan adrenalin yang selalu disukainya saat mengemudi kapal. Lagipula, bukan dirinyalah yang menyebabkan mereka tidak bisa terbebas. Mereka tidak punya senjata apapun untuk melawan monster tersebut. "Kau bisa percaya padaku..." ia tidak bisa memikirkan sesuatu yang lebih meyakinkan, jadi ia mengalihkan topik pembicaraan. "Dan kau bisa mencari sesuatu untuk mengalahkan belut itu?"
Pemuda itu menyerah, Tana bisa mendengar bahwa Aru menghela napas dan melihat dari sudut matanya bahwa Aru beranjak dari tempatnya untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata di dalam kapal selam.
Belut itu tidak mau menyerah. Tana sudah berkali-kali mencoba kabur, namun belut raksasa itu selalu menghalangi jalan mereka, seakan ingin memerangkap kapal selam di dalam teritori kekuasaannya. Gadis itu tidak mengerti. Apa yang sebenarnya makhluk itu inginkan?
Aru masih mencari, meskipun Tana tidak yakin apa yang hendak dicarinya. Bukankah ia sudah bilang tidak ada senjata yang bisa digunakan tanpa sistem otomatis? Mungkin akan ada suatu keajaiban dan sebuah senjata tiba-tiba muncul di dalam kapal selam.
"Ah!" Gadis itu mendengar Aru terkesiap, terkejut dengan sesuatu. Ia ingin menoleh, namun si belut bisa saja tiba-tiba menyerang. "Ada apa?" Tana mengerutkan dahi. Jangan-jangan ada masalah lain yang menghalangi mereka selain belut raksasa.
Aru tidak menjawab.
Tana masih menunggu, memperhatikan laut di balik kaca. Masih tidak ada tanda-tabda makhluk itu. Telapak tangannya yang berkeringat berada di kemudi, siap memutarnya apabila terjadi sesuatu."Tana!"
***
Bom racunnya bisa digunakan.
Benda itu hanya butuh alat untuk menembakkannya, dan Aru dengsn bodohnya tidak menggunakan bazooka angin untuk itu. Ketika ia menemukan tempat penyimpanan bom, hal yang pertama kali terlintas di pikirannya adalah langsung berenang keluar dan melemparkan bom dengan tangannya sendiri. Heroik, tetapi bodoh.
Masalah sebenarnya adalah, bom racun bisa benar-benar berbahaya jika tidak digunakan dengan benar. Bom itu adalah tiruan tinta cumi-cumi, sehingga fungsi awalnya adalah untuk mengacaukan musuh, seperti gas air mata. Namun, angkatan militer sudah memodifikasinya dengan menambahkan campuran 200 zat racun paling mematikan. Selain belut raksasa, bom itu juga dapat membunuh mereka berdua dalam sekejap mata bila ada ventilasi terbuka.
Aru mengernyit saat mengingat lubang yang dibuatnya di ruang kargo saat menembaki belut-belut kecil. Memang tidak besar, tetapi jaket anti air yang menutupinya tidak akan menghalangi zat racunnya untuk masuk. Mereka tidak akan bertahan lama.
Tana masih mengemudikan kapal selam, dan sejauh ini, belum ada ancaman berarti dari belut raksasa. Aru benar-benar tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengan gadis keras kepala itu. Ia mempercayainya, namun ... entahlah. Ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang membuatnya merasa ingin mengambil alih suatu kendali. Atau itu memang caranya dibesarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aquatris
خيال علميTana Sanchez tinggal di Kepulauan Tenggara, satu dari delapan sub-negara kepulauan yang tersisa setelah arus gelombang memusnahkan hampir seluruh daratan dunia. Ia lebih suka berkeliaran dengan perahunya dibanding kuliah, untuk menghindari ayah tiri...