Bab 4

1.5K 239 15
                                    

Dimana Solar?
Sekarang itu pertanyaan terbesarnya.

Galangan kapal ternyata lebih rumit daripada yang diperkirakan. Ada banyak ruangan berdinding kaca tempat perakitan kapal, serta banyak sekali, perahu dan kapal yang mengambang di atas air di sisi-sisi ruangan yang sengaja dibuat berlubang.

Tapi, entah sebuah kebetulan atau memang jodoh, mata Tana menangkap Solar yang mengambang tidak jauh darinya, hanya berjarak 3 perahu.

Sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan, beban di pundaknya terangkat setelah melihat hadiah terakhir ibunya baik-baik saja.

Tana segera merencanakan strategi.

Ia sekarang bersembunyi di balik sebuah kapal besar, yang membuatnya tidak terlihat sama sekali. Ia hanya bisa berdoa agar tidak ada petugas yang tiba-tiba punya ide untuk datang kesini.
Solar masih kelihatan sebaik seminggu yang lalu, puji tuhan. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya bila mereka menghancurkannya.

Tana meringis memikirkannya.

"Pengumuman, jam kerja hari ini telah berakhir lebih awal dikarenakan acara final Kompetisi yang wajib ditonton seluruh masyarakat..." speaker tidak terlihat di langit-langit bersuara.

Gadis itu sontak mendongak ke langit-langit.

"...diharapkan agar pekerja meninggalkan bangunan utama dalam 5 menit. Pintu-pintu akan segera ditutup." Speaker tersebut menutup pemberitahuannya, diakhiri dengan nada musik ceria.

Suasana hati Tana sama sekali tidak ceria mendengar bahwa ia harus menyelesaikannya dalam waktu 5 menit.

Baiklah, tidak ada nanti-nanti.
Tana menyelinap maju, selalu berusaha tersembunyi di balik badan-badan kapal. Ia cukup bersyukur ini akhir jam kerja, karena semua pekerja sibuk mengantri di pintu keluar. Solar tinggal selangkah lagi.

Tidak ada satu pun pekerja yang menoleh.
Tana melompat ke atas perahunya, gerakan yang sudah terlatih akibat bertahun-tahun mengendarai perahu.
Gadis itu menelengkan kepala, rambut pendeknya menutupi wajah.
Ini terlalu mudah. Ada sesuatu yang salah.

"RIIIING! RIING! RIIIING!"
Lampu darurat berwarna merah seketika menyala menerangi ruangan. Alarm mengeluarkan suara yang memekakkan telinga.

Kali ini, ia benar-benar menyumpahi dirinya. Mereka memasang sensor di perahunya.

Sebelum seorang pekerja pun sempat bergerak, Tana berlari menuju ruang kendali perahunya.

Ruang kendalinya juga masih utuh, dengan aneka tombol dan panel yang tidak tersentuh sedikit pun.

Gadis itu berkonsentrasi penuh, mencoba mendiagnosis apa yang sudah mereka lakukan pada perahunya.

Sialnya, ia bukan teknisi.
Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk melepaskan sensor, alat pelacak, atau bahkan bom penghancuran diri yang bisa saja diletakkan ayah tirinya.

Lampu darurat dan alarm terus menyala, dan para pekerja mulai menyadari apa yang terjadi, segera berlarian menuju Solar.

Keringat menuruni lehernya, jantungnya berdebar begitu kencang di balik tulang rusuknya. Ia hanya tahu cara mengemudikan perahu, sekali lagi tidak bisa mematikan perangkat apapun yang telah ditanamkan di sini.

Maka itulah yang dilakukannya.
Mengambil risiko adalah pilihan terbaiknya untuk saat ini.

Tana menghadapkan wajahnya ke arah panel pemindai. Butuh beberapa detik saat pemindai yang lebih canggih mengenali retina matanya.

Terdengar suara klik. "Akses terbuka."

Gadis itu menyapu rambut yang menghalangi matanya, menekan sebuah tombol.

"Angkat tangan!" Seorang petugas berhasil mencapai perahu, berdiri di tepi lantai galangan dengan senjata teracung.

Dinding galangan hancur.
Solar melaju mundur dengan kecepatan tinggi.

Tana menggertakkan gigi saat perahu tersentak, terjun dengan posisi belakang terlebih dahulu ke permukaan laut.

Solar hampir terbalik, namun Tana berhasil menyeimbangkannya di saat-saat terakhir. Perahu berputar tajam dan melaju ke laut lepas.

"BOOM!"
Sebuah kapal diturunkan dari galangan, menembakkan sebuah meriam.

Tana menghindarinya tepat waktu, membiarkan meriam cair menghantam sebuah batu cadas. Ia bahkan tidak menoleh kebelakang. Ia sudah tahu ayah tirinya mempunyai meriam logam cair yang bisa melelehkan perahu.

Ia mengarahkan perahunya ke sela-sela cadas di dangkalan pantai, untuk menghindari meriam-meriam cair yang terus ditembakkan.

"BOOM!"

Sebuah meriam berhasil menyerang Solar, membuat lubang besar di badan perahu. Tana menatap jeri lubang besar tersebut. Ia tidak akan bertahan lama dengan itu.

Tana meninggikan kecepatan, bermanuver di sela-sela cadas batu. Berbelok, menghindar, berputar. Gadis itu bersyukur bahwa ia sudah berlatih habis-habisan untuk Kompetisi. Tidak sia-sia.

Di saat Solar terbebas dari lindungan cadas, kapal galangan tidak kembali menargetkan meriam cair.

Tana mengerutkan dahi. Mereka tidak
akan menyerah begitu saja. Meskipun kapal itu terus mengejarnya, mereka tidak menembakkan apa pun lagi. Kapal itu hanya terus mendekat sambil menjaga jarak, terus mendekat, hingga hanya 10 meter.

Seorang petugas menekan tombol alat pengontrol jarak jauh.

Satu detik.
Perahu masih melaju dengan kecepatan stabil.

Dua detik.
Gadis itu mulai menyadari ada sesuatu yang berkedip di ujung matanya, berdetik seperti berhitung mundur.

Tiga detik.
Tana baru menyadari apa yang sedang terjadi, berteriak tertahan.

Perahu itu meledak,
Pecah menjadi keping-keping kecil.

***
Readers tercinta!!
Jangan lupa ikuti terus kisah Tana ya..
Makasih vote nya 😍
Saran dan kritik ?

















AquatrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang