Aku menguap. Tidak kuasa menahan kantuk, aku pun melipatkan tangan di meja kemudan menelungkupkan kepala.
Ugh. Padahal saat ini aku sedang mengikuti ulangan. Tapi karena kemarin si Akashi yang terus berada di rumahku sampai malam membuatku tidak bisa tidur.
Beruntungnya aku sudah selesai.
Tapi sialnya, Yuna terus menerus memanggilku.
Anak satu itu. Tidak bisa apa melihat temannya istirahat sebentar saja? Jadilah aku tidak menghiraukan segala bisikannya.
"Sachiko! Sachiko!" Dia tidak pantang menyerah.
"Sachiko!"
"Sachiko!"
"SENSEI! YUKICHI-SAN DARI TADI MENGGANGGU SAYA!" teriakku spontan, membuat seluruh perhatian mengarah ke arah Yuna. Yuna yang masih dalam posisi meminta-jawaban langsung gelagapan.
Aku menyeringai kepadanya yang dibalas desisan Yuna.
Guru saat itu, Asa-sensei, berjalan pelan ke meja Yuna. Sedangkan orang yang duduk di meja itu tergagap, kelihatan ketakutan setengah mati.
Hm, aku merasa sedikit bersalah sekarang.
"Yukichi-san, apa yang kau lakukan?" tanya beliau, masih dalam mode aman.
Yuna tertawa kaku sembari menggaruk kepalanya yang kuyakini tidak gatal. "Em ... menanyakan jawaban?" Kelewat jujur.
Segeralah Yuna ditendang keluar dari kelas dan tidak diperbolehkan masuk sampai ulangan selesai. Aku cekikikan tanpa suara melihat nasib Yuna yang malang.
Dua kali disuruh keluar! Rasain!
Makanya jangan main-main dengan Nona Miyano Sachiko!
⊙⊙⊙
"Jahat banget, sih! Udah aku bilangin, aku 'kan bego di pelajaran itu! Nggak setia kawan banget! Harusnya kamu bantuin, kek! Bukannya malah ngadu!" oceh Yuna. Dia membuka bungkus roti yakisoba-nya lalu melahapnya.
Aku tertawa. "Ya kali. Lagian, yang namanya kawan itu harusnya membantu temannya ke jalan yang benar," jawabku sok. Aku "mengunci" telur dadarku dengan sumpit kemudian memasukkannya ke mulut.
Nyam! Enak! Masakan Riisa-san paling top!
Omong-omong, sesuai dugaan kalian, ini sudah waktu istirahat dan kami berdua memilih menghabiskan waktu di bawah pohon sakura besar.
Dari sudut mataku, bisa kuperhatikan Yuna tengah menggerutu kesal. "Dasar, kau itu dari dunia mana, sih," gumamnya yang masih bisa kudengar.
"Ya dari Bumi lah. Masa dari Pluto?" kataku asal.
"Kamu tuh! Awas aja kalau nanti kamu nanya, nggak bakal aku jawab!"
"Yang ada kamu kali yang nanya." Perkataanku membuat Yuna mendengus sebal.
Aku mengerutkan kening, heran. Sungguh, aku tidak bisa membaca pikiran anak-anak jaman sekarang. Walaupun itu hal yang salah, kalau sesama teman, itu menjadi benar. Ck, beruntungnya hanya minoritas penduduk yang seperti itu.
Sebagai penduduk Jepang yang dengan tingkat kedisplinan serta kepatuhan yang tinggi, aku harus bisa memilah mana yang salah dan benar. Meskipun si dia itu temanku, kalau dia melakukan atau malah mengajakku untuk berbuat kesalahan, aku akan menegurnya. Contoh kejadiannya, ya ... dengan Yuna ini.
"Tapi sesekali membantuku boleh lah," ujar Yuna pelan.
Aku menggeleng. "Apapun yang terjadi, berbuatlah jujur. Apa jadinya generasi Jepang jika terus seperti ini?" kataku, membuat Yuna semakin terpojok.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Mystery Behind the Massacre in 1978
ParanormalMiyano Sachiko, seorang murid angkatan ke-90 di Ashitake High School. Dia seperti murid lainnya, tapi ada satu yang membedakan dirinya dengan yang lain. Dia indigo. Karena kekuatan indigo-nya inilah, yang membuat dirinya sering berhubungan dengan h...