Chapter 10 : "Aku, arwah, dan Yuna."

81 9 12
                                    

Yuna menatapku. Dia tidak mengalihkannya ke mana pun. Masih melekat kepada diriku yang kini mematung di depannya. Namun, itu bukan tatapan Yuna biasanya. Dia menatapku seperti orang asing.

"Kau ... bicara dengan siapa?" Dia mengulang pertanyaannya, lagi-lagi membuat hatiku tertusuk dua kali. Dari nadanya, terselip sebuah ketakutan.

Aku menelan ludah. Aku sudah tidak peduli apakah hantu sialan itu masih berada di tempatnya atau telah menghilang. Peduli amat, sekarang ada yang lebih penting dari itu.

Kurasakan tanganku basah oleh keringat dingin. Aku tergagap, tidak tahu harus mengatakan apa.

Sekali lagi, kutatap wajah Yuna. Wajah itu penuh dengan keingintahuan dan pucat karena ketakutan. Kemudian aku tersadar.

Apakah aku akan berbohong lagi kepadanya? Setelah semua kedokku terbongkar, apakah aku akan terus menumpuk kebohongan kepadanya? Meskipun dia adalah satu-satunya teman terdekatku?

Tidak. Itu mustahil kulakukan.

Karena itu, aku menarik napas dalam-dalam. Aku tidak pernah setegang dan segugup ini sebelumnya. "Yuna—kumohon, dengarkan aku dulu."

Aku melangkah maju. Tapi Yuna melangkah mundur. Dia gemetar. Dan itu membuat hatiku berdenyut sakit.

"Yuna, kumohon—"

"Berhenti, Sachiko. Tolong," pinta Yuna. Aku terbungkam. Seluruh gerakanku terhenti mendengarnya berkata seperti itu.

Aku berhenti berjalan, tapi aku berusaha untuk terus menatap Yuna. Gadis di hadapanku tampaknya sulit mencerna apa yang dia lihat barusan.

"Kenapa kau kemari?" tanyaku pelan.

"S-Sensei berkata kau ke sini. Jadi, aku menyusul lalu melihatmu—" terjadi jeda sejenak sebelum dia melanjutkan, "Berbicara ... dengan angin."

Aku ingin sekali lenyap dari dunia ini. Kalau ada Doraemon, aku akan memintanya mengeluarkan pintu ke mana saja dan pergi ke ujung dunia. Tidak, akan lebih baik aku pergi menggunakan mesin waktu untuk mencegah diriku tidak berbuat hal bodoh.

Itu pun kalau robot kucing biru itu ada. Tapi ini dunia nyata, bukan dunia fantasi dan itu takkan mungkin terjadi.

Terjadi keheningan yang canggung. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. Aku tertangkap basah. Tidak ada tempat melarikan diri.

"Yu—" Ucapanku terhenti karena pintu aula terbuka lagi, membuatku dan Yuna terlonjak kaget. Begitu terlihat beberapa murid hendak memasuki aula, Yuna berlari keluar tanpa sempat kucegah.

Aku menghela napas. Kuputuskan berjalan keluar, menuju tempat Mizuki-sensei berada. Aku menghampirinya. "Aku tak menemukannya, sensei," kataku.

Beliau menengok. "Ha? Kau tidak mencari sungguh-sungguh! Ada di sana!" katanya, tetap berpendirian teguh terhadap pemikirannya.

Aku mengepalkan tangan. Aku menahan segala emosi yang memuncak. Aku bisa saja menghardik guru ini sekarang juga— sebagian kesalahan dia karena rahasiaku terbongkar—tapi tidak baik kulakukan tentunya. Aku bakalan kena peringatan.

"Maaf, tapi Anda bisa melihat sendiri ke dalam aula. Jika saya salah, silakan Anda cari saya lagi dan suruh saya berlari mengelilingi gedung sekolah sebanyak 20 kali tanpa henti," belaku setengah menantang. "Kalah begitu, saya permisi."

Aku tidak begitu memikirkan apa yang kukatakan. Pasalnya, aku memang benar dan aku pasti benar. Tidak ada start jongkok di sana. Yang ada hanyalah arwah kepala buntung serta tubuhnya yang baru saja mengganggu para murid dan pembawa kesialan.

The Mystery Behind the Massacre in 1978Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang