Chapter 6 : "Penjelasan dari Akashi."

71 10 4
                                    

Aku mengelap keringat yang mengucur. Kurasa sekarang kamarku sudah lebih bersih dan rapi.

"Sachi, sudah selesai membersihkan kamarmu?" tanya Riisa-san yang tengah berdiri di ambang pintu.

Aku menengok kemudian menganggukan kepala. "Sudah, Bu. Habis ini aku ngapain?" Aku menyimpan kembali alat-alat yang kupakai untuk bersih-bersih pada tempatnya.

"Kamu mandi saja. Atsushi-san dan yang lain sudah melakukan sisanya," jawab beliau. Riisa-san pun berjalan ke bawah.

Aku merenggangkan otot. Yah, okelah, aku akan mandi sekarang.

Kakiku melesat pergi menuju kamar mandi. Aku menyalakan keran dan membiarkan bathtub terisi penuh, memakan banyak waktu memang. Tapi aku lagi ingin berendam.

Setelah terisi penuh, aku pun mulai memasuki bathtub terisi air itu. Ah, segarnya.

Ini memang kebiasaan kami semua. Setiap seminggu sekali, lebih tepatnya setiap hari Minggu, kami semua membersihkan dan merapihkan rumah.

Sekitar 20 menit berlalu dan aku telah menyelesaikan acara berendamku. Rambutku yang basah dibungkus sebentar dengan handuk putih kecil.

Kakiku pun melangkah turun ke bawah. Dapat kulihat dari sini Miria-chan yang sedang menyiram tanaman, Shui yang menonton TV, Riisa-san yang memarahi Shui karena tidak bekerja sama sekali, dan Atsushi-san yang sedang menghirup pipa dengan santai.

Ting tong ...

"Shui--"

"Aku saja yang membuka pintunya, Bu!" kataku memotong perkataan Riisa-san.

Aku meraih gagang pintu dan membukanya. Saat melihat siapa orang yang menekan bel pintu itu, wajahku berubah masam.

"Hai, selamat pagi. Apa aku datang terlalu pagi atau malah telat?" Akashi nyengir. Cengirannya sama persis seperti anak berumur 5 tahun yang baru mendapatkan sesuatu.

Aku membuka pintu lebar-lebar. "Kau sangat telat jika mau ikut membersihkan rumahku. Cepatlah masuk," suruhku tanpa basa-basi.

Akashi langsung masuk begitu saja dan melakukan satu hal yang membuatku kebingungan. Aku menaikan sebelah alisku. "Kau memakai sepatu?"

Sekarang, Akashi-lah yang menaikan sebelah alis. "Baru sadar? Selama sosokku adalah manusia, pasti sepatuku ini juga akan terlihat--maksudku, yah, menjadi nyata," jelasnya.

"Tunggu, kau memakai sosok manusiamu? Kenapa?" tanyaku sembari menutup pintu.

Dia memutar bola mata malas. "Ya kali aku datang ke rumahmu dalam sosok arwah. Kau bisa dianggap tidak waras karena membukakan pintu dan berbicara sendiri di depan sana."

Walau perkataan Akashi berbelit-belit, aku cukup paham apa maksudnya.

"Siapa itu, Sachi?" tanya Riisa-san, sepertinya beliau sedang berjalan menghampiriku.

Saat ia sudah melihatku dan Akashi, wajahnya terlihat sedikit terkejut. "Ah, ternyata kamu, Akashi-kun."

Akashi tersenyum menanggapi. "Selamat pagi, Riisa-san. Semoga kehadiranku di pagi ini tidak mengganggu."

Riisa-san menggeleng kecil. "Tidak. Kau diterima kapan saja karena telah menjaga Sachi, ya, 'kan?" Matanya melirikku.

Aku memaksakan diriku untuk tersenyum dan dengan patah-patah mengangguk--tidak ikhlas. "I-iya."

"Oh, ya--"

"Ah, kami ke atas dulu, ya! Nanti tolong bawakan minuman dan camilan, ya!" kataku, memotong perkataan Riisa-san.

The Mystery Behind the Massacre in 1978Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang