Setelah mengetahui apa yang terjadi, esoknya aku langsung memberitahu kepada pihak sekolah--di pagi buta--untuk membongkar tempat penyimpanan di toilet setiap bilik. Tentu, awalnya mereka tidak percaya padaku, tapi setelah melihat isi di dalamnya, mereka terbungkam.
Ada tulang-tulang dari mayat yang sudah membusuk dan seragam di sana. Dan benar, seragam itu milik hantu 'Hanako', terlihat pada nametag-nya.
Nama aslinya ternyata adalah Hanako juga. Kawasumi Hanako.
Pihak sekolah memilih merahasiakan ini dan aku juga disuruh untuk tutup mulut--bahkan tanpa disuruh juga aku akan tetap diam. Aku tidak mau tiba-tiba namaku berada di koran sekolah ataupun koran lokal karena berhasil menemukan mayat seorang murid di toilet.
Mayat Hanako sudah dikembalikan kepada keluarganya dan dimakamkan dengan layak hari ini. Dan dalam waktu sehari, toilet perempuan lantai 1 kembali ramai karena Hanako tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Dia sudah benar-benar pergi.
Satu hal lagi, aku bersyukur para arwah di rumahku tidak menanyaiku macam-macam. Saat aku bangun, aku sudah dipakaikan piyama dan hanya ditanyakan 'bagaimana kabarmu?', 'apa kau sudah baikan?' dan semacamnya.
"Ha!" seru Yuna, membuatku sadar dari lamunanku. Aku menatapnya.
"Kau melamun! Apa yang sedang kau pikirkan, sih, sampai-sampai perkataanku tidak kau dengarkan?" cibir Yuna.
"Eh, bukan apa-apa," elakku.
Yuna menggembungkan pipi. "Kau seperti menyembunyikan sesuatu dariku."
"Yuna, aku tidak menyembunyikan apa pun darimu."
Yuna menatap bola mataku dengan menyelidik. Sayangnya, topeng yang kupasang terlalu tebal sehingga dia tidak bisa mengetahui kalau aku sedang berbohong.
"Oke! Aku percaya padamu!" Yuna mengangkat tangan, menandakan dia menyerah.
Aku tertawa kecil. Kemudian memerhatikan ke kelas yang sudah hampir kosong. "Nee, kenapa kelas kosong seperti ini? Pada ke mana?" tanyaku.
"Sekarang sudah jam istirahat, Miyano Sachiko. Itu, sih! Melamun aja dari tadi, makanya jadi menyumbat kedua telingamu, 'kan!" Yuna bangkit lalu berkacak pinggang.
Aku memutar bola mata. "Terserah kau saja."
"Kau mau ikut ke kantin atau menunggu di sini?" tanya Yuna.
"Aku lupa bento-ku. Kurasa aku akan ikut denganmu." Aku juga ikut berdiri dan berjalan beriringan dengannya.
Kalau ingin pergi menuju kantin, kami harus melewati koridor itu. Yap, yang kumaksud adalah koridor yang termasuk dalam kategori koridor paling penuh dengan arwah.
Sebisa mungkin, aku menjauhkan kontak mata dan berusaha menyibukkan diri dengan berbincang-bincang bersama Yuna.
"Memangnya tadi kau ngomong apa, Yuna?"
"Lho, tumben menanyakan. Ada apa?" tanyanya curiga.
"Enggak, cuma mau tahu."
Yuna menatapku. "Kau aneh. Yaa ... aku hanya bilang kalau katanya hantu di toilet perempuan tersebut sudah tidak ada lagi. Kalau denger gosip, banyak yang bilang ada seseorang yang menguak fakta kalau terdapat mayat di dalam toilet itu. Tapi itu 'kan hanya gosip semata, belum tentu benar. Yang pasti aku senang karena hantu itu sudah tidak ada!"
Aku merasa tersindir--ini kedua kalinya. Aku memang tidak akan mengatakannya, tapi merahasiakan sesuatu dari teman itu sangatlah tidak nyaman.
"Oh, begitu," komentarku singkat. Aku tidak tahu harus berkomentar apa lagi selain itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mystery Behind the Massacre in 1978
ParanormalMiyano Sachiko, seorang murid angkatan ke-90 di Ashitake High School. Dia seperti murid lainnya, tapi ada satu yang membedakan dirinya dengan yang lain. Dia indigo. Karena kekuatan indigo-nya inilah, yang membuat dirinya sering berhubungan dengan h...