Chapter 9 : "Kepala pengganggu yang berada di ring basket."

76 9 6
                                    

Enam hari telah berlalu setelah kepergian Paman.

Bisa kukatakan, kehidupanku kembali seperti semula. Riisa-san, Shui, Miria-chan, Atsushi-san, dan Dekka terlihat sangat lega—semuanya tergambarkan jelas dari wajah mereka.

Aku, meskipun sedikit merasa bersalah, juga lega karena dapat beraktivitas lagi dengan bebas. Yah, memang selama lima hari ini aku dan Akashi mencari lagi segala informasi tentang tahun 1978. Akan tetapi, kami tidak menemukan hal yang baru.

Kami membagi tugas; Akashi mencari di perpustakaan kota sementara aku di perpustakaan sekolah. Kami memang menemukan beberapa koran lain mengenai tahun 1978, tetapi semua berita yang tertulis telah kami temukan sebelumnya.

Dan lagi, lima hari sebelumnya, beberapa buku tentang tahun 1978 telah hilang, tidak ditemukan di mana-mana. Skenario terburuk.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa selama lima hari ini kami belum ada kemajuan.

Aku mengempaskan diri ke kasur. Lelah dan penat seakan menguap seketika. "Ah, sial. Aku ingin segera menemukan si pencuri itu," kataku.

Akashi, yang telah duduk di dekat meja belajarku, mendengus kesal. "Yah, aku juga pengennya begitu. Daripada itu, bagaimana pencarian hari ini, Sachi? Menemukan hal baru?"

Aku bangkit, kini dalam posisi duduk. Aku menggeleng pelan. "Tidak ada. Semuanya telah kita ketahui. Aku bahkan sampai hafal letak buku-buku tersebut karena sering membacanya," jawabku. "Kau?"

Akashi juga menggeleng. "Tak ada satu pun informasi baru. Perpustakaan kota hanya menyimpan koran saja, tidak ada buku mengenai tahun 1978. Mencari tentang latar belakang Ashitake High School saja susah."

Kami saling berpandangan, lalu menghela napas bersamaan.

"Apakah kita harus bertanya kepada arwah-arwah di sekolah?" usulku.

"Itu malah lebih buruk lagi. Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah arwah-arwah itu tidak akan menjawab atau mengganggumu." Akashi menolak mentah-mentah usulanku.

Aku mendesis mendengarnya. Yang ia ucapkan benar, sih, tapi tetap saja menyakitkan di hati. "Apa yang akan kita lakukan?" tanyaku untuk kesekian kalinya.

Akashi menatapku lama sekali. Aku menaikkan sebelah alis. "Apa?" kataku ketus.

Pemuda itu mengangkat bahunya, kemudian berdiri. "Yah, kita bisa istirahat sejenak. Kau seharusnya lebih sering bercermin, Sachi. Terdapat kantung mata di sana," kata Akashi.

Aku merasakan pipiku memanas. "Urusai!"

"Aku mengatakan yang sebenarnya, kok. Dari wajahmu, kau tampak kelelahan sekali. Kali ini, beristirahatlah." Akashi berjalan menuju pintu.

"Kau mau ke mana?"

"Mencari udara segar. Dan mungkin aku akan segera ke sekolah." Akashi menjawab tanpa menoleh. "Nah, sampai jumpa, Sachi."

Dia membuka pintu, kemudian menghilang seperti angin. Aku hanya bisa termenung di dalam kamar.

⊙⊙⊙

Aku berangkat ke sekolah dengan lemas. Rasanya malas sekali mengikuti pelajaran, apalagi pelajaran pertama hari ini adalah olahraga.

Aku menyukai olahraga, kalau lagi niat bermain. Di luar itu, aku malas sekali. Kakiku akan seperti jeli karena tidak ingin digerakkan.

Seketika, bulu kudukku meremang begitu memasuki gedung sekolah. Aku tersentak kecil, memerhatikan sekitar. Tidak ada yang aneh, semuanya normal—arwah-arwah bergentayangan tanpa ada niat jahat.

The Mystery Behind the Massacre in 1978Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang