01 (telah direvisi)

482 140 157
                                    

Lelaki itu berjalan dengan santainya tanpa memperdulikan berbagai macam teriakan gadis - gadis penggemarnya sedari tadi.

Wajahnya yang memang dingin dan terkesan cuek itu bertambah dua kali lipat karena saat ini dia datang ke sekolah agak sedikit terlambat dari biasanya.

Hanya sedikit, mungkin terhitung 5 menit lebih lambat dari biasanya, tapi sudah membuat aura yang terpancar terlihat sangat suram.

Itulah Devian. Si perfeksionis, dingin, cuek, dan sangat tidak suka dengan para fans ceweknya yang dia pikir sangat amat alay. Untung ganteng.

Setibanya di kelas, Devian melemparkan tasnya asal di atas mejanya. Tangannya meraih headset di dalam saku seragamnya kemudian menyumpalkan ke dalam telinganya. Semua orang yang melihatnya sudah faham jika saat ini Devian sangat tidak ingin diganggu.

"Sstt.. Sstt.." ya, mungkin orang ini pengecualian.

Devian bergeming, tidak mengindahkan panggilan lelaki yang berada tepat di depan bangkunya itu.

"Oi.. Oi.. Woy tembok cina!"

Fix, saat ini tingkat kekesalannya bertambah ribuan kali lipat. Hanya dengan lelaki yang saat ini berada di hadapannya, dari yang awalnya Devian merasa bahagia, bisa dengan mudahnya berbalik menjadi kesal jika berhadapan dengan dia.

Devian melirik tajam lelaki itu kemudian beralih menatap ponselnya.

"Anjir gue dikacangin. Sakit vrohhh!!! Sakitttt!!!" lelaki itu mulai bergaya memegang dada sebelah kirinya dan memasang ekspresi layaknya orang yang sangat tersakiti.

Devian berdecak, dasar drama king!

"Tapi lebih sakitan dikacangin doi sih dari pada upil batu begini," lanjutnya menggerutu.

Lelaki itu mendengus, kemudian menyobek selembar kertas dan meremasnya hingga berbentuk bola. Setelahnya dia melemparkan kertas itu ke wajah Devian.

Devian berdecak. Dengan teramat malas dia menatap lelaki yang sedari tadi mengganggunya. "Apa sih lo, Dit!"

Lelaki tadi, Adit. Kini mulai menyeringai. Aksi terakhir yang dilakukan akhirnya berhasil! Diulang, berhasil guysss!!!

Karena memang membuat Devian harus mendengarkan ocehan recehnya itu harus dengan perjuangan ekstra.

Adit berdeham sejenak dan memasang ekspresi bijak layaknya mario teguh. "Jadi begini ananda Devian, apakah yang membuat wajah anda yang selama ini bete, semakin beribu ribu kali lipat menjadi teramat sangat bete? Coba dijelaskan ya."

Devian memutar bola matanya dan kembali menatap ponselnya. Benar kan? Berbicara dengan Adit sungguh tak ada gunanya.

"Anjir! Lama lama gue bangun pabrik kacang nih! Ngomong sama lo tuh menghasilkan pasokan kacang yang banyak tau. Lumayan buat tambah tambahan biaya hidup, bang." Adit mengelap ujung mata terharu layaknya seorang narasumber di salah satu acara berita di televisi.

"Bodo!"

"Yeuhh!! Elo mah!" Adit mengerucutkan bibirnya.

"Jadi kenapa lo makin hari makin kaya tembok cina sih? Datar amat! Lo tau? Aura suram lo itu menyebar kemana mana, bikin gue jadi ikutan bete aja. Jangan jangan itu semacam virus menular deh kayanya. Heran gue."

"Diem deh! Lo ganggu banget jadi orang." Devian meraih kertas yang dilempar Adit kepadanya tadi. Kemudian membalas melemparkannya ke wajah Adit.

"Teranjing lah kau babang dedev!" Adit kembali cemberut. "Cuman jawab pertanyaan gue aja lo susah. Apalagi ngejawab pertanyaan mertua!"

Past MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang