07 (telah direvisi)

256 91 37
                                    

Hari Minggu.

Sungguh hari ini merupakan hari yang sangat dicintai Devian. Pasalnya, dia bisa bangun kapan saja sesuka hatinya. Bahkan tidur dari pagi hingga menjelang pagi kembali pun tidak ada masalah.

Selama tidak ada pengganggu yang menyebalkan, hari liburnya ini akan menjadi sempurna.

Mungkin semua orang tidak ada yang mengetahui hobi tidur panjangnya yang bisa disebut hibernasi itu kecuali keluarganya. Karena kebanyakan orang menganggap dia adalah sosok yang sempurna.

Si lelaki yang dianugerahi wajah yang rupawan. Juga otak cemerlangnya yang membuat dia berada di peringkat pertama pararel. Manusia seperti apa lagi yang tidak menginginkan hal itu melekat di dirinya?

Bahkan sifat cool dan cueknya bisa dianggap sebagai nilai tambah untuknya dikalangan gadis remaja yang menganggap sebagai tantangan tersendiri yang harus ditakhlukan. Yaitu untuk mencairkan sebongkah gunung es yang melekat dalam diri lelaki itu.

Memang, dibalik kesempurnaan fisik selalu saja ada titik kelemahannya. Mungkin salah satunya adalah hibernasi di setiap hari libur itu.

09.30

Devian mulai mengerjapkan matanya disaat cacing di perutnya mulai berdemo ingin diberi makanan. Dia teringat sejak pulang sekolah kemarin sama sekali belum menyentuh makanan.

Devian bangkit dari tidurnya dan duduk sejenak untuk mengumpulkan nyawanya yang belum genap.

Pandangannya beralih pada handphone di atas nakas yang saat ini bergetar.

Dengan gerakan lambat Devian mengambil handphonenya dan melihat id caller yang tertera di layar.

Lyra's calling..

Devian mendengus kesal saat salah satu pengganggu di hari liburnya mulai beraksi.

Belum sempat Devian menggeser layar ponselnya untuk menjawab panggilan gadis itu, sambungan telepon sudah dimatikan duluan. Devian memutar bola matanya malas, selalu saja begini jika berhubungan dengan Lyra.

Matanya yang sedari tadi sayu tiba - tiba terbelalak saat melihat 56 notifikasi pesan, 208 notifikasi panggilan tak terjawab, dan 15 notifikasi pesan suara. Memang hal biasa jika Lyra selalu spam saat sedang membutuhkannya. Tetapi kali ini lebih parah dari biasanya.

Devian mengacak rambutnya frustasi, beberapa detik kemudian handphonenya kembali berdering.

"Hal-"

"Kak Devvv!!! Ih lo kemana aja sih? Ditelpon gak diangkat, disms gak dibales, diline gak dibaca. Maunya apa coba?!"

Devian memutar bola matanya seraya menjauhkan ponsel dari telinganya. Sayang jika nanti dia tidak bisa mendengar hanya karena ocehan receh Lyra. "To the point aja deh, gue lagi males debat sama lo."

Terdengar helaan nafas dari seberang. "Oke, gue gak mau tau ya.. Pokoknya jam 10 kakak harus udah ada di rumah gue. Kalo nggak, kakak tau kan kenapa? Yaa.. Sorry sorry to say nih ya, gue bakalan ngadu ke your father, mampus!"

Devian kembali mendengus kesal. Ingin rasanya membanting ponselnya sedari tadi agar tidak mendengar ancaman Lyra. Kalau sudah menyangkut ancam - mengancam yang berkaitan dengan papanya, Devian angkat tangan. "Otw!"

Devian menekan tombol home dengan keras. Kemudian mematikan handponenya dan mencabut kartunya. Dia yakin jika dirinya telat satu menit saja Lyra akan kembali spam hingga Devian menggubrisnya.

Devian kembali mendengus. "Sialan!"

***

"Lyraaa!!! Buruan turun woy!!! Gue tinggal nih!" teriak Devian sesaat setelah tiba di depan rumah Lyra.

Past MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang