Nah ini lanjutannya....Happy Reading.
***
Tiga puluh menit kemudian Hendra keluar dari kamar mandi. Ira bangkit dari duduknya. Penglihatannya fokus memandang penampilan Hendra pagi ini. Laki-laki itu mengenakan kemeja dan celana panjang yang sudah di siapkan Ira. Kapan Ira menyiapkan? Semalam saat Ira sulit tidur, Ira merombak kamar mandinya agar mudah di akses, juga menyiapkan beberapa pakaian milik Hendra di ruang ganti baju jika sewaktu-waktu orangnya membutuhkan, tidak perlu membuka lemari.
Kamarnya terlampau luas untuk gadis seperti Ira. Papanya yang menginginkan sedemikian rupa, supaya kamar anaknya bisa di pakai walau sudah dewasa.
Kita kembali ke posisi Ira. Gadis itu masih saja memandang suaminya. Lebih tepatnya rambut suaminya. Menurut Ira, rambut Hendra jauh lebih keren jika masih basah dan berantakan.
''Kita sarapan sekarang, ya?'' ajak Ira. Tanpa menunggu persetujuan dari Hendra, Ira sudah mendorong kursi roda Hendra keluar dari kamar dan beranjak menuju lift. Rumah Ira memang tersedia lift yang menghubungkan lantai dasar dan lantai atas. Ira jarang menggunakan fasilitas itu dan lebih memilih naik turun tangga.
Setibanya di ruang makan, Ira melihat supir pribadi Nyonya Wijaya membawa sebuah koper. Ira meminta izin ke Hendra untuk mengikuti supir itu. Hendra mengizinkan. Ira kemudian mengikuti supir itu sampai teras dan di sana sudah ada Nyonya Wijaya.
''Mama mau kemana?''
''Mama mau ke Villa yang ada di Bali. Sudah lama Mama gak ke sana. Mama kangen sama suasananya.''
''Mama mau ke Bali? Aku kan baru nikah. Mama gak mau sarapan bareng sama Hendra?''
''Mama kan cuma sebentar, sayang. Dan inh juga gak ada hubungannya sama pernikahan kamu. Mama gak perlu sarapan bersama laki-laki cacat itu.''
''Mama!''
''Sudah ya. Mama berangkat dulu. Sebentar lagi Mama chek in pesawat.''
Nyonya Wijaya masuk ke mobil. Ira menatap kepergian Mamanya dengan mata nanar. Mamanya masih seperti dulu, menilai orang dari fisiknya.
Ira akhirnya kembali ke ruang makan. Ira menyaksikan Papanya sedang berbicara dengan Hendra. Mereka terlihat akrab. Mau tidak mau Ira tersenyum.
''Ira, habis ini Papa mau berangkat ke Bandung. Tiga hari Papa di sana. Ada urusan penting dan harus di selesaikan sekarang juga,'' kata Tuan Wijaya.
''Semoga urusan Papa cepet selesai,'' ujar Ira.
''Amin. Sebenarnya Papa masih mau di rumah. Papa mau dengar pengalaman Hendra selama menjadi Dokter Anasthesi. Pasti menyenangkan.''
''Papa bisa denger kalau Papa udah pulang.''
''Iya juga ya! Dan soal Mama kamu, nanti Papa coba bicara berdua sama Mama. Setelah urusan Papa selesai Papa akan menyusul ke Bali. Papa sadar, Ira. Selama ini Papa sama Mama tidak bisa memberikan kebahagiaan yang kamu inginkan. Mungkin dengan Papa memberikan restu kepada kalian, Papa bisa menggantikan semua kebahagian kamu yang belum pernah kamu dapat dari Papa. Papa akan menjadi Papa yang paling beruntung di dunia karena bisa melihat kamu bahagia. Meski bukan Papa yang menciptakannya.''
Ira sangat terharu mendengar semua ucapan Papanya. Kini Tuan Wijaya sudah berubah. Ira senang sekali dengan perubahan Papanya.
''Papa berangkat dulu, ya.''
''Aku antar sampai teras ya, Pa?''
''Nggak perlu, Ira. Kamu di sini aja.''
Ira kemudian mencium tangan Papanya. Setelah Ira, Hendra melakukan hal yang sama. Tuan Wijaya keluar dari ruang makan. Menyisakan Ira dan Hendra di sana. Ira jadi gugup. Entah kenapa saat bersama Hendra, Ira selalu gugup.
Keheninganlah yang tercipta. Keduanya tak tahu harus memulai dengan percakapan apa. Dua-duanya masih merasa canggung jika hanya berdua.
''Maaf,'' ucap Ira tiba-tiba. Membuat Hendra menatap wajah Ira.
''Maaf untuk apa?''
''Untuk ... yang tadi pagi.''
''Nggak usah kamu pikirin. Aku gak papa. Tadi aku emang sedikit terpancing, jadi--"
''Maafin aku! Buat saat ini aku gak bisa. Kalau seandainya kita berbuat ... terus aku hamil, dan kamu belum sembuh. Aku takut perhatian aku jadi terbagi. Aku gak mau kita punya anak sebelum kamu sembuh.''
''Tapi sampai kapan? Apa kamu tau kapan aku sembuh? Nggak kan?''
''Aku yakin kamu cepet sembuh. Aku yang akan mengurus kamu. Aku akan minta sama Om Gunawan buat kurangi jadwal aku di Bestfreind, aku akan nulis di rumah kalau perlu, asal itu bisa bikin aku sembuh ... aku akan melakukannya.''
''Dan yang semalam itu....'' Rupanya Hendra masih mengingatnya. Hendra penasaran kenapa Ira mau menyentuh rambutnya.
''Lupain yang itu! Anggap aja aku gak pernah megang rambut kamu!'' Ira mengelak. Karena tidak mungkin Ira mengatakan yang sebenarnya.
''Megang rambut aku gak bisa bikin kamu hamil, Ira. Kecuali kalau--"
''Stop! Aku gak mau denger!'' ucap Ira seraya menutup telinganya menggunakan kedua telapak tangannya,
''Kamu kan Dokter, tau segalanya!''
''Walaupun aku bukan Dokter, aku juga paham soal itu. Kenapa kita jadi bahas itu? Kita kan baru satu hari nikah.''
Blush! Wajah Ira seketika merah menahan malu yang luar biasa. Benar juga, kenapa membahas masalah itu? Di sini yang paling penting kesembuhan Hendra. Ira ingin Hendra kembali seperti semula, walau tidak tahu kapan akan terjadi.
♡♡♡♡
#26 a dan b
2 April 2016Edit
30 Agustus 2016***
Chapter selanjutnya
''Lupain masa lalu! Dan jangan jadi istri durhaka!''
Kalimat terakhir dari Mita sukses memporak-porandakan hati Ira. Ira cukup sadar dengan apa yang sudah di lakukannya selama beberapa hari ini ke laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] After You're Gone [END]
Fiksi Umum#IndonesiaMembaca Judul sebelumnya: Dear My Husband Pernah masuk ranking #88 dalam General Fiction. Start: 19 Juni 2016 Finish: 19 Febuari 2017 [Sequel of Record of Life] Kehidupan Ira mulai berjalan seperti biasa, meski Alvi sudah meninggal. Namun...