PainkikerPainkiller and Painmaker
**
Theala.
Waktu angin menghembuskan nafas
Tatkala sepi merajuk mohon
Sinkronisasi langit dan bumi membaur
Melebur hangat, mengangkat ringkih hidup
Menyatu menjadi semangkuk masa lalu
Kumakan satu sendok, kemudian dua sendok, tiga sendok
Kutelan bersama batin yang membatu di nadi dada
Manakala kutanya kekosongan
Tak ada satupun jawab mampu menghadap
Ku mengais miris
Tertawa
Tertusuk
Berakhir
Karena naluri sudah mengalir
Sempat beberapa kali terbesit di pikiran gue tentang penulis-penulis yang selalu pintar menumpahkan kesedihannya lewat sajak.
Semangkuk Masa Lalu, ditulis Claire Paveitria empat tahun lalu.
Menurut cerita yang gue dengar, butuh waktu lama untuk Claire mempublikasikan sajaknya yang itu. Dan setiap kali gue membacanya, entah itu pagi, siang, atau malam, selalu ada perasaan sama yang akan muncul.
Sunyi.
Apa alasan seseorang bisa mengunci dirinya di kamar seharian, berbaring di atas kasur dan sesekali bangun hanya untuk memeluk lututnya sendiri, sedikit membuka gorden untuk melihat ada apa di luar.
Kalau gue, karena gak ada satupun orang yang bisa gue ajak bicara.
Dulu gue selalu insomnia. Sebelum gue tidur, semua pikiran yang tadinya tidak pernah melintas di benak gue tiba-tiba datang, membuat gue berpikir lebih keras daripada biasanya dan selanjutnya gue akan dengan pelan keluar kamar, mengendap-endap ke dapur untuk membuat teh hangat manis dan duduk di ruang tamu sampai pagi.
Sebenci apapun gue menjadi orang yang banyak pikiran, gue tetap melakukannya.
Namun ada yang sedikit berubah dari gue semenjak Dirga datang.
Less thinking.
"Gak ada yang perlu lo sesalin tentang hari ini dan gak ada yang perlu lo khawatirin tentang hari esok. Tau kenapa?"
"Karena gue akan selalu pastiin semua hal yang lo lakuin hari ini gak akan pernah buat lo menyesal dan semua hal yang akan lo lakuin besok pasti bisa lebih menyenangkan dari hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nonversation
General Fiction(SUDAH TERBIT) Teman, katanya. Cinta, rasanya. Pupus, akhirnya.