4 : TERAPI

139 16 0
                                    

Byan

Lagi-lagi dokter menyuruhku untuk meminum obat-obatan itu. Tetapi aku nakal, aku tidak meminumnya melainkan diam-diam memuntahkan kembali obat itu dan aku membuangnya ke bawah ranjangku, kadang saat kegilaanku bangkit aku harus diasingkan ke ruang isolasi.

Jelas saja aku begitu gila, aku tidak pernah melakukan anjuran dokter dan pura-pura menjadi anak baik di depannya. Yah, kalau aku meminum obat itu pun apa gunanya untukku? Toh, aku tidak ingin sembuh tidak apa-apa kalau aku harus membusuk di kamar rawatku atau ruang isolasi.

Hari ini pun aku harus meminum obat itu, sama seperti hari-hari sebelumnya aku mengambil obat yang diberikan dokter dan pura-pura meminumnya, setelah dokter dari kamar rawatku aku memuntahkannya dan mengambil kantong plastik yang isinya obat-obat muntahan.

"Oh, dugaanku tepat kenapa tidak ada perkembangan pada mentalmu." Hal itu membuatku terkejut, dokter kembali ke kamar rawatku dan melihat apa yang selama ini diam-diam aku lakukan.

Dokter itu merebut plastik itu dan mengangkatnya tepat di hadapanku, "Jadi selama ini kau membohongiku?"

Aku tersenyum sinis, "Aku cerdik kan, dokter? Seperti kancil."

"Mungkin aku harus mencari alternatif agar kau menurut padaku."

"Tidak perlu bersusah payah, dokter." Aku beralih duduk santai di ranjangku.

"Sudah semestinya kau diberi obat lewat suntikan." Senyumku semakin melebar ketika aku melihat dokter itu mengeluarkan suntik dari saku almamater putihnya. Aku bahkan terkekeh, "Cobalah sebisamu, dokter."

Saat dokter itu hendak memberikan suntikan padaku dengan sigap kuraih kepalanya dan menghantamnya dengan kepalaku. Aku menjadi senang mendengar ia mengaduh kesakitan, saat ia lengah seperti itu aku mengambil kesempatan utuk mengambil alih suntik itu dan menancapkannya di bahu dokter muda itu.

"Dokter, sudah berapa kali kubilang, aku ini seperti Si kancil yang cerdik."

Aku pastikan suntikan itu dapat membuatnya lemah seketika. Hahah, di sini lebih menyenangkan. Aku berlari menuju kantin rumah sakit dan timing yang sangat pas, kantin tidak begitu sepi, aku bisa bersenang-senang menjaili mereka.

Suntik yang tadi kurampas belum lepas dari tanganku, aku mendekati para pelayan kantin dan seorang bibi berbadan gemuk menarik perhatianku. Aku mendekatinya sambil menodongkan suntikku, "Bibi, kau juga ingin disuntik?"

Bibi itu berteriak apalagi saat mengetahui kalau aku salah satu pasien yang cacat mental. Dipergelangan tanganku ada gelang yang menandakan aku sebagai pasien dari bagian kejiwaan.

Aku semakin senang saat mendengar suasana kantin menjadi riuh. Belum sempat aku memberikan bibi gemuk itu suntikan sudah ada perawat yang menahanku dan akhirnya aku kembali berakhir di ruang isolasi.

Di ruang isolasi berwarna putih ini aku tidak sendirian, aku selalu menyimpan pensil di dalam saku seragamku. Pensil yang dokter berikan padaku ini biasanya kugunakan untuk menggambar atau lebih tepatnya melobangi buku.

Ya, mereka bilang menggambarlah padaku dan melobangi kertas putih yang tak berdosa adalah sebuah mahakarya bagiku.

Kali ini akan kugunakan pensil tanpa kertas, aku akan membuat mahakarya di tubuhku. Mula-mula aku memberikan goresan di lenganku, aku mengosok-gosoknya ke kulitku agar tampak seperti bayangan.

Aku terkekeh saat leganku memerah dan mengeluarkan darah, ah, sudah saatnya menghapus kesalahan dalam mahakarya, aku memain-mainkan darah itu mengosok-gosoknya seperti sedang menghapus kertas yang kotor.

Jujur, aku tidak merasakan sakit sedikitpun aku justru semakin senang saat ada luka-luka di tubuhku. Rasanya tenang, seperti terbang di langit.

TAK, ah tidak, kenapa pensilnya tiba-tiba patah? Apa aku terlalu keras atau batang pensilnya saja yang sudah rapuh? Kecewa, memang benar, tapi bukan aku namanya kalau tidak memiliki pikiran cerdik.

Rain & BowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang