Hujan

45 4 0
                                    

Tanpa ada tanda-tanda ataupun peringatan, terdengar suara gemericik yang menyebabkan pekarangan rumah perlahan basah. Tamu kesukaan beberapa orang itu akhirnya kembali bersinggah setelah beberapa bulan pergi tanpa jejak, meninggalkan segalanya menjadi kering dan gersang. Malam yang sunyi senyap kala itu tak lagi sendirian. Ia bangkit berdiri untuk berdansa dengan dirinya yang dinantikannya selama berbulan-bulan.

Langkah mereka saling beriringan, gemulai gaun yang dikenakan oleh tamu itu berkibar indah hingga menyita perhatian seluruh orang bahkan untuk yang sudah terlelap. Malam yang tiada lelah menunggunya kala itu merasa sangat senang dan puas, ia seperti sedang berseru kepada semua orang, "Lihatlah! Lihatlah kami! Akhirnya dia kembali dan kini nampak semakin cantik!"

Seruan itu tidak didengarkan oleh semua orang, terkadang tidak tersampaikan, namun aku bersyukur aku mampu mendengarnya.

Aku mengintip keluar jendela dan melihat mereka berdua—hujan dan gelapnya langit malam yang saling berdampingan. Tidak, tidak banyak yang mengetahui kehadiran mereka berdua. Banyak orang membenci saat-saat ketika hujan tiba—karena ketakutan.

Hujan tidak pernah sendirian. Ia datang bersama guntur dan kilat yang selalu berada di sisinya, saling bersorak ria tidak memedulikan sekitarnya. Lalu mengapa di antara sekian banyaknya orang aku termasuk yang menyukai kehadirannya?

Begini, bila kau pernah merasakan gersangnya hatimu karena tidak pernah disiram oleh kasih sayang, kau pasti merasa lega ketika hujan datang. Entahlah, bagiku hujan memiliki kekuatan yang tidak dapat dijelaskan dan memiliki efek berbeda untuk setiap orang.

Untukku, hujan selalu membawa kembali kenangan-kenangan yang tiap detik selalu kurindukan. Bagaimana dulu aku dan dirinya menyambut hujan dengan gembira—kami bahkan sampai bermain bersamanya—dan bagaimana suara kami berdua tidak bisa terdengar karena hujan di luar sana begitu deras. Atau ketika kami tidak berkata apa-apa, hanya terdiam menatap hujan yang bersinggah dalam damai.

Dengan kedua tangan yang saling bertautan. Dengan kedua hati yang tahu jelas siapa pemiliknya.

Aku harus mengakui bila dengan bersinggahnya hujan, segalanya terasa berbeda. Kuakui terkadang aku takut bertemu dengannya, karena ia selalu membawa bayang-bayang masa lalu di wajahnya.

Bila suatu saat nanti hujan datang kepadaku terbalutkan dalam wujud manusia, aku ingin memeluknya erat. Aku ingin berkata padanya bahwa kehadirannya begitu menusuk hatiku tetapi aku tidak membencinya. Aku ingin berkata padanya bahwa kepergiannya adalah hal yang mengerikan—banyak makhluk hidup yang akan mati tanpanya. Aku ingin berterima kasih padanya karena selalu menjadi kenangan manis maupun pahit untukku.

"Rain, despite all the noises that thunder made whenever he's with you, I believed you worth all the wait."

Lalu setelah puas melihatnya berdansa dengan malam, kuputuskan untuk kembali tidur. Kepalaku terasa dingin setelah menyadari hujan sedang berada di luar, keinginan untuk bertemu dengannya dalam wujud manusia diam-diam masih kusimpan hingga aku terlelap.

Kemudian ia datang. Ya, hujan datang kepadaku. Terbalut dalam wujud manusia yang sangat kukenali. Aku tidak perlu bertanya siapakah yang berada di hadapanku saat itu.

Apa yang kulihat dalam tidurku mampu menyadarkanku akan satu hal;

Sayangku, ternyata kaulah hujanku selama ini.

Maafkan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang