Decitan Sepatu

71 5 2
                                    

Lantai sekolah yang bersih karena dengan rutin dipel oleh cleaning service memang menjadi salah satu alasan klasik untuk berbaring di atasnya. Tidak banyak debu, tidak ada sampah yang bertebaran. Semua membuang sampah pada tempatnya seperti yang telah diingatkan di seluruh poster yang ditempelkan di tembok sekolah.

Duduk-duduk di lantai, tertawa hingga tersungkur ke lantai, tengkurap di lantai karena kepanasan sedangkan lantai sangat dingin kala itu akibat terkena AC, atau mengetes kelicinan sol sepatu.

Ya. Decitan sepatu adalah musik paling asik ketika masa SD. Bila sepatumu tidak berdecit, you have no life. Kau tidak bisa merasakan bagaimana euforia kebahagiaan ketika sepatumu berderit dengan kencang, mengalahkan sepatu-sepatu yang lain. Seperti biasa, dia memiliki sepasang kaki yang besar. Dengan sepatu ukuran terbesar di antara murid kelas 6 lainnya, dengan suara decitan yang kencang. Sepatu yang tampaknya lusuh dengan bercak lumpur di tepi solnya masih saja tampak keren bila ia yang memakai. Dia memang pandai mengubah sesuatu menjadi keren hanya dengan mengenakannya.

Nah, ketika musik kesukaannya dimainkan, dengan sangat bebas ia akan menari mengikuti irama musik. Gerakannya aneh, bukan kayak dancer pada umumnya. Hanya seorang bocah yang bahagia mendengar lagu favoritnya. Tentu saja dengan decitan sepatu yang sengaja ia buat-buat agar tariannya terkesan konyol. Tampan tapi konyol. Siapa yang tidak mau? Ah, ngomong apa aku ini. Kemudian dengan tak kalah heboh, anak-anak lain ikut menggoyangkan tubuh mereka untuk menemaninya berlaku konyol. Tak kupungkuri mereka sangat gaduh. Tapi aku juga suka melihatnya.

Selain saat sebuah lagu diputar, bila berjalan di koridor, ia akan sengaja mendecitkan sepatunya. Beberapa pasang mata langsung tertuju padanya, sesekali tertawa atau hanya sekedar melirik saja. Mungkin bocah di depanku saat itu memang sangat suka bila diperhatikan orang lain.

"Oi, berisik tau!" tegur salah satu anak yang saat itu juga lagi ada di koridor.

Tidak dihiraukan. Ia terus saja berjalan tanpa berkata-kata kepada anak itu. Aku melihat ke arah lain supaya tidak dikira sedang bersekongkol dengan manusia gorilla di depanku itu, dalam hati sebenarnya aku merasa iba, namun itu bukan urusanku.

Selain untuk bersenang-senang, bila dari suatu arah sesekali terdengar decitan sepatu, 90% kemungkinan itu adalah dia yang sedang berjalan mendekat. Seperti sebuah indikator.

Sebenarnya bukan hanya anak tadi yang protes, ada beberapa guru yang juga mengingatkan hendaknya jangan terlalu sering mendecitkan sepatu di koridor, atau dimana pun. Nanti sol sepatunya rusak, ada orang yang geli telinganya, ada yang gini, gitu, begono. Macem-macem lah. Kemudian aku tak sengaja mendecitkan sepatuku di lantai yang bersih. Tatapan secerah mentari ditujukan padaku darinya.

"Nah, bisa gitu lho!" seru dia yang kusayang.

Cengiran lebar langsung saja meluncur keluar tanpa bisa kutahan. Dengan begini aku bisa berjalan di sampingnya, bukan di belakangnya. Hari demi hari berlalu, aku seperti terbiasa berada di sisinya.

Dengan lelucon yang murahan,
dengan decitan sepatu yang nyaring.

Maafkan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang