Delapan

128 13 3
                                    


SUDAH BERHARI-HARI sejak mereka meninggalkan istana dan akhirnya mereka sampai di Gunung Geern. Inilah tempat yang katanya dihuni oleh kuda-kuda bertanduk. Gunung itu terlihat tidak terlalu tinggi. Tapi mereka tidak tahu apakah akan mudah untuk mendakinya.  Henry memandang jalanan terjal yang mengarah ke atas menuju puncak gunung. Kelihatannya jalanan di gunung ini tidaklah terlalu mulus bagi mereka, tapi setidaknya kuda-kuda mereka bisa melewatinya. Begitulah yang diharapkannya.

Kuda-kuda mereka mulai mendaki gunung itu. Awalnya jalanan terasa biasa saja. Kemudian mereka melewati jalanan yang agak berbatu, membuat kaki-kaki kuda mereka agak susah untuk menjejak. Bahkan kuda Ron tergelincir karena sebuah batu yang membuatnya hampir jatuh.

"Kapan jalanan berbatu ini berakhir?" keluh Kevin.

Mereka terus berjalan sampai tiba-tiba mereka mendengar suara berdebum dari atas. Terlihat sebuah batu yang ukurannya sangat besar menggelinding turun dengan cepat.

"Awas! Batu itu mengarah ke sini!" teriak Ron memperingatkan.

Mereka semua dengan gesit menyingkir ke pinggir agar tidak terlindas. Batu itu dengan cepat melewati mereka dengan bunyi gemeletuk saat melindas bebatuan di bawahnya. Untung saja mereka berhasil lolos. Tidak bisa dibayangkan kalau salah satu dari mereka terlambat menyingkir. Tubuhnya mungkin akan menjadi rata seperti kertas.

"Hampir saja," kata Caleb.

"Itu tadi mengejutkan," Kevin berkomentar, jantungnya masih berdebar kencang.

"Kita harus lebih hati-hati. Perhatikan sekeliling kalian. Jangan sampai hal seperti tadi terjadi tanpa kita sadari. Mari saling menjaga dan memperingatkan," Henry memberi instruksi sebelum mereka kembali mendaki naik.

Sekarang mereka melewati jalanan yang sangat sempit dengan jurang yang dalam di sebelah kiri mereka dan tebing tinggi di sebelah kanan. Mereka melewati jalanan itu dengan hati-hati. Tubuh mereka menegang saat kaki-kaki ramping kuda mereka menapak menyusuri jalan. Henry melihat kebawah, ke arah pepohonan yang terlihat sangat kecil dari atas, membuat bulu-bulunya berdiri. Cepat-cepat dia berpaling ke jalanan di depannya, menyingkirkan pemandangan mengerikan yang barusan dia lihat.

Saat matahari telah terbenam dan mereka semua mulai kelelahan, mereka singgah untuk tidur di dalam gua. Perut mereka diisi dengan buah-buahan yang tumbuh liar di sekitar mereka.

Saat yang lain sudah tenang dalam tidur, Henry masih bangun. Dia duduk di dekat api unggun memandangi apinya yang menari-nari. Ketika matanya mulai terasa berat, telinganya menangkap suara ringkikan kuda. Ringkikan itu sudah pasti bukan dari kuda-kuda mereka karena sumbernya terdengar jauh. Henry memasang pendengarannya dengan waspada. Matanya tidak lagi mengantuk karena rasa penasaran. Suara ringkikan itu terdengar lagi.

Dia bangkit berdiri hendak mencari asal suara itu. Bisa saja itu ringkikan dari si kuda bertanduk satu. Dia mempertimbangkan apakah dia harus membangunkan yang lain atau pergi seorang diri saja. Lalu dia memutuskan untuk pergi sendiri. Dia mengambil satu kayu bakar dan menyalakan ujungnya sebagai obor. Dia menaiki kudanya lalu mulai mencari.

Mengandalkan pendengarannya, Henry berusaha menemukan sumber suara yang didengarnya. Suara ringkikan itu berhenti beberapa saat, namun kemudian terdengar lagi. Henry mengacungkan obornya ke depan untuk menerangi sekitar. Matanya berusaha beradaptasi dengan gelapnya malam. Dia terus berharap dalam hati bahwa suara itu berasal dari hewan yang dia sedang cari. Sampai akhirnya dia menemukan sumber suara itu.

Beberapa meter di depannya berdiri dua ekor makhluk berkaki empat. Makhluk itulah yang mengeluarkan suara ringkikan yang didengar Henry dari dekat api unggun. Ini benar-benar menegangkan sekaligus membahagiakan. Bentuknya benar-benar mirip kuda. Henry ingin segera berderap mendekati mereka. Tapi itu pasti akan menakuti mereka dan membuat mereka lari. Dengan perlahan, dia mendekati makhluk itu untuk melihatnya dari dekat. Dahinya adalah yang paling ingin Henry lihat. Dia berharap ada tanduk yang mencuat di sana. Ketika cukup dekat untuk melihat dahinya, Henry langsung kecewa. Itu hanya kuda liar biasa. Tidak ada tanduk sama sekali.

Petualangan Mencari UnicornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang