Denpasar, Bali, 21.00 WITA
Kadek Mertha Agung Prayoga merasa tidak tenang malam ini. Sudah sejak dua jam yang lalu ia merasa mengantuk namun, di kamar apartemennya ini, meski berkali-kali mencoba memejamkan matanya untuk tidur hal itu tak dapat jua ia lakukan. Akhirnya ia memutuskan untuk terjaga. Dilemparkannya selimut yang tadi ia pakai menyelimuti tubuhnya ke sisi lain tempat tidurnya lalu disambarnya sebotol air mineral dan berjalanlah ia ke beranda teras apartemennya.
Ketika ia sampai di beranda itu, dilihatnya ada seorang berjubah hitam dengan wajah yang ditutupi topeng kayu berwarna merah. "Rahajeng wengi Putu – Selamat malam Cucuku," sapa pria itu.
"Titiang kira sapasira, tan kaden Pekak rauh ka iriki – Saya kira siapa, rupanya Kakek yang datang kemari. Wenten punapi Gung Kak – Ada apa Kek?"
"Syailendra akan datang kemari. Dakara ditarik mundur dan di Bhumijawa, Duryodhana menang."
"Apa? Bagaimana dengan utusan Trimurti Wisnu, Rsi Narada? Apa Gung Kak dengar kabar lagi darinya?"
"Dia menghilang."
"Dibunuh?"
Batara Yama menggeleng, "Bukan dibunuh, dilemparkan ke dalam loka – dunia – lain yang tak terpantau oleh mata Batara Surya sekalipun."
"Oleh Asura?"
Batara Yama mengangguk, "Jumlah mereka semakin bertambah dari waktu ke waktu. Sesuatu dari Arcapada terus-menerus memanggil mereka dari loka mereka untuk datang kemari. Ketidakseimbangan mulai terjadi, jumlah mereka di dunia manusia tidak boleh bertambah lebih dari ini sebab jika tidak kehancuran dunia akan terjadi lebih cepat dari yang seharusnya."
"Para Dewata tak bisa berbuat apa-apa?"
"Kadek, meski kau punya kekuatan dahsyat sekalipun, jika jumlah pasukanmu sedikit pasti selalu ada saja musuh yang lolos. Itulah yang terjadi saat ini."
"Aku akan membereskan mereka yang lolos, seperti yang sudah-sudah. Gung Kak tinggal katakan saja di mana tempat mereka berada."
"Kali ini aku takkan mengizinkanmu bertarung. Tidak sekarang."
"Kenapa?"
"Yang telah dilepas dari Kalimantan dan yang akan datang ke pulau ini ... bukanlah Asura-Asura biasa. Kau takkan bisa melawan mereka sendirian."
"Aku bisa."
"Tanpa 'Triwikrama'?"
Kadek terdiam sebelum menjawab, "Apa yang kurang dari diriku sehingga aku tak mampu gunakan Triwikrama?"
"Kau tidak bisa berdamai dengan dirimu dan orang lain, itu masalahnya. Jika sampai saat-saat yang menentukan tiba kau masih saja begitu, maka kau akan kalah."
"Berdamai artinya aku akan lupa bahwa ada orang yang harus aku balas atas kematian Bapa."
"Kau menjadi kesatria bukan untuk membalas dendam. Kau dilahirkan kembali ke dunia ini adalah untuk menjadi penegak dharma, bukan menjadi pembalas dendam."
Kemudian hening, baik Sang Dewa Kematian maupun pemuda berambut lebat hampir menyentuh pangkal leher itu sama-sama terdiam. Batara Yama tampak mendesah sesaat sebelum matanya kembali menerawang pemandangan kota Denpasar di kala malam, "Pulau ini terlalu besar untuk dilindungi satu orang."
"Kecil atau besar, Dewata telah menganugerahiku kekuatan ini," pemuda itu melempar-lemparkan sebuah cincin di tangan kirinya, "dan dengan kekuatan ini aku akan terus menjaga pulau ini dengan atau tanpa Triwikrama. Tapi kau janganlah gundah, Syailendra akan membawa orang-orang lain untuk membantumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Awatara IV : Kali-Yuga
Science FictionSekuel dari Sang Awatara III - Triwikrama. Syailendra menarik seluruh agen Dakara ke Bali untuk mengkonsolidasi segala elemen yang tersisa dari Dakara dan BIN, sementara Presiden baru mulai melakukan perburuan serta penindasan pada setiap pihak yang...