BAB II : RIVAL

1.7K 116 17
                                    


Bukit Kelam, Kalimantan Barat, 04.00 WITA

Meski Jagawana bernama Palgunadi itu sudah menyuruh Bayu untuk tidur sejak beberapa jam yang lalu, namun Bayu sama sekali tak bisa tidur sebab suhu tempat ini dinginnya minta ampun, berbeda jauh dengan kota asalnya, Semarang, atau kota Jakarta, atau Pontianak yang baru saja ia kunjungi. Bukan sekali-dua kali pula, Bayu harus pergi buang air kecil akibat suhu dingin yang tidak karuan itu, tapi anehnya Palgunadi sama sekali tak terusik oleh suhu udara di bawah 20 derajat Celcius itu sama sekali.

Pada akhirnya Bayu berhasil memaksa dirinya terlelap saat fajar hampir tiba. Tapi baru sebentar saja terlelap tiba-tiba dirinya sudah diguyur seember air dingin hingga tubuhnya basah kuyup dan hidungnya kemasukan air.

"Aih ah, brrr, gllpp!!!" Bayu yang tadinya sudah kedinginan jadi makin kedinginan pasca diguyur air seperti itu.

"Ayo olahraga! Lari keliling hutan!" kata Palgunadi sambil tersenyum misterius. Bayu bisa melihat di pinggang kirinya telah tersandang dua mandau yang diselimuti kumpang – sarung mandau – berhiaskan bulu-bulu burung dan tulang hewan. Bayu penasaran masa Palgunadi bisa berlari dengan bawa-bawa senjata seperti itu.

"Ayo saja Pak Palgunadi," jawab Bayu yang merasa tertantang dengan ajakan Palgunadi. Apalagi dengan beban bawaan rempong seperti itu, Bayu yakin dia takkan mungkin kalah dengan Palgunadi.

*****

Kenyataannya terbalik 180 derajat! Begitu mulai start, Palgunadi sudah berlari bak macan dahan dengan kecepatan nyaris di luar nalar manusia. Bayu memprediksi atlet lari Indonesia paling cepat sekalipun bahkan tak bisa mencapai kecepatan macam begitu. Larinya memang tidak secepat 100 km/jam tapi kira-kira cukup cepat, secepat motor yang melintas di jalan raya yang sepi.

Bukan itu saja, Palgunadi juga berlari melintasi akar-akar pohon, batu yang menyembul, gundukan tanah, cekungan batu, dan rerimbunan tanaman berduri seolah mereka semua tidak ada. Sementara Bayu sempat tersandung akar pohon, terantuk batu, tergores duri tanaman perdu dan kakinya juga sukses berkenalan dengan yang namanya turunan terjal sehingga ia jatuh terguling-guling.

Tapi Palgunadi tidak peduli. Ia terus saja berlari, hanya sesekali ia menoleh dan memperlambat larinya untuk mengamati sejauh mana Bayu tertinggal. Bayu sendiri sudah ngos-ngosan. Butir-butir peluh sebiji jagung sudah bertengger menghiasi dahi dan pelipis kepalanya. Kondisi dingin, lelah, dan udara berkabut yang kadar oksigennya lebih rendah daripada wilayah lain membuat tubuhnya makin penat. Kala Palgunadi mulai berlari meninggalkannya lagi, Bayu berjalan dengan terseok-seok mencoba menyusul Palgunadi secepat yang ia bisa tapi sayang ia makin tertinggal jauh.

Bayu terus saja memaksa diri berlari-lari kecil melintasi rerimbunan hutan yang medannya makin lama makin terasa berat itu. Selangkah demi selangkah Bayu terus melangkah hingga akhirnya ia menemukan sesuatu yang tidak ia sangka bakal ada di tempat itu.

"Jalan aspal?" Bayu terkesiap, "Jalan aspal di tengah hutan!!!!!!" kali ini dia nyaris berteriak.

"Di sini memang ada jalan aspal, dibangun untuk transportasi warga, " kata Palgunadi yang ketika Bayu melihat ke arah sumber bunyinya, lagi-lagi tengah bertengger di atas pohon.

"Kalau ada jalan aspal, kenapa Bapak suruh saya lari lintas alam tadi?!" ujar Bayu yang kesal karena lelah, lapar, dan bosan dengan segala urusan Dakara ini. Ia ingin pulang ke rumahnya, makan makanan hangat untuk mengisi perut lalu tidur selama 1-2 hari tanpa mau dibangunkan sama sekali di atas kasurnya yang empuk dan nyaman.

"Kalau Ananda Bayu tidak ingin menjalani semua ini, harusnya Ananda pulang saja waktu Ibu Ananda menyuruh Ananda pulang di Pelatnas saat itu," kata Palgunadi.

Sang Awatara IV : Kali-YugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang