BAB XII : PARASURAMA

1K 104 25
                                    

Jam di tangan Mahesa sudah menunjukkan pukul 12 malam tapi tak ada tanda-tanda kemunculan Tualen yang akan menjemput mereka. Mahesa mulai gelisah tapi Mappangaraja tetap tenang meski beberapa kali ia menengok ke arah hutan yang gelap seolah tengah menunggu sesuatu.

Sekonyong-konyong Mappangraja kemudian berdiri dan mematerialiasasi busur Wijaya Dhanu miliknya kemudian mengarahkannya ke hutan gelap yang sedari tadi ia pandangi.

"Turunkan busurmu itu Karna, aku sama sekali tidak punya niat jahat di sini!" ujar suara itu.

"Dengan aku mungkin tidak, tapi bagaimana dengan Mahesa, Murdiono ah tidak ... Prabu Duryodhana?"

Sosok yang sedari tadi menyembunyikan diri dalam kegelapan hutan itu akhirnya menampakkan diri dan Mahesa benar-benar terperanjat ketika menyaksikan bahwa di hadapan Adipati Karna kini benar-benar berhadapan dengan Sang Presiden.

"Aku kemari hendak membuat penawaran Sobat Lama. Sudah berapa abad berlalu sejak peristiwa kamu dihina Pandawa sebagai anak kusir kala kontes memanah dahulu? Bahwa kamu sebagai anak kusir tidak layak menantang Arjuna karena dia pangeran dan kamu cuma anak kusir kereta yang harusnya puas diri dengan tugas merawat kuda, memotong jerami untuk makan kuda, mencuci kandang dan kereta kuda, dan tugas-tugas remeh semacam itu. Kala itu siapa yang menolongmu kawan?"

"Kamu memang yang dahulu menolongku keluar dari status anak kusir, Duryodhana, dan kita dahulu juga adalah teman dekat sampai mati. Tapi aku sudah membayar tuntas budimu dengan memperluas wilayah Hastina selama bertahun-tahun, aku juga sudah membayar tuntas janjiku untuk terus membelamu sampai aku mati karena leherku ditebas panah Arjuna. Aku tak punya hutang budi apa-apa lagi padamu di kehidupan ini."

"Jangan begitu Karna, meskipun kamu berkata demikian. Aku berhutang setara 100 nyawaku padamu. Dan di kehidupan lampau aku baru membayar sepersepuluh dari yang seharusnya kamu dapatkan."

"Apa maumu?"

"Aku butuh kamu lagi Karna, jadilah wakilku di pemerintahan. Bersama kita akan menyatukan seluruh bumi di bawah naungan kerajaan kita lagi!"

"Tawaran menarik, tapi terpaksa kutolak."

"Oh, kamu mengkhawatirkan nasib si kecil Abimanyu ini? Itu bisa kita atur. Jika Abimanyu kecil berjanji tidak akan macam-macam selama kita hidup maka dia akan aman sentosa."

"Kamu berubah Duryodhana. Kamu bukan lagi Raja Hastina yang pemarah tapi peduli pada rakyatnya seperti yang kuingat dahulu. Kamu sekarang sudah gila kekuasaan, lebih gila daripada kondisimu menjelang Pertempuran Padang Kurushetra!"

"Atas dasar apa kamu menuduhku demikian?"

"Kamu membuka 28 titik lokasi tambang di sejumlah daerah tapi tidak memberikan uang kompensasi yang layak pada masyarakat yang rumahnya harus digusur akibat keperluan pembangunan fasilitas tambang. Uang kompensasi yang mereka terima harusnya 350 juta per kepala keluarga paling sedikit, tapi yang mereka terima hanya 110 juta. Kamu tahu itu tapi kamu diam saja kan? Lalu bagaimana AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) tambang-tambang emasmu di Banyuwangi sana? Ke mana kamu buang limbah air raksa yang kamu pakai memurnikan emas? Ke laut kan? Peduli amat sama nelayan yang nantinya keracunan air raksa atau biota laut yang mati kan? Perlu kujabarkan lebih jauh lagi?"

Sang Presiden alias Awatara Duryodahan itu hanya tersenyum simpul, sembari mengangkat kedua tangannya. Lalu sekonyong-konyong tanah di sekitar Mahesa dan Mappangaraja bergetar, gumpalan asap-asap tebal keluar dari dalam tanah dan menyatu menjadi sosok makhluk yang tidak jelas wujudnya. Makhluk itu mirip dengan manusia namun tingginya menjulang setinggi enam meter, tidak memiliki mata namun mulutnya bulat tidak sempurna dengan gigi-gigi taring mengelilingi rongganya. Tangannya berjumlah dua pasang dengan masing-masing telapak tangan hanya berjari tiga namun ujung-ujungnya tampak tajam dan sanggup mengoyak apapun yang menghalangi jalannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang Awatara IV : Kali-YugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang