BAB X : DEWA AMRAL

704 71 18
                                    

Dwapara-Yuga ternyata tak hanya sekedar menghipnotis orang-orang satu kota untuk menyerang Kadek. Ia juga memberi kemampuan bagi Sang Ketua DPR itu untuk melayang melawan hukum gravitasi.

Kadek sendiri tampak kerepotan menanggulangi massa yang kian lama semakin banyak. Sejauh ini ia berhasil melumpuhkan mereka dengan membuat mereka tak sadarkan diri dengan memukul tengkuk mereka menggunakan gagang tombaknya. Sementara itu Markus juga dibuat kerepotan karena harus membagi konsentrasinya melawan empat Kurawa yang masih tersisa dengan menanggulangi kerumunan massa tak berdosa dan tak boleh dilukai.

"Saya harap kamu sudah cukup sibuk melawan mereka semua, Pancawala! Jadi saya permisi dulu! Ciao!" Teja melambaikan tangannya pada Kadek dan mulai melayang pergi dari tempat itu.

"Tunggu! Sial! Minggir kalian!" Kadek mulai panik akan kehilangan targetnya selama ini.

Kerumunan itu semakin banyak mengerumuni Kadek. Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum Kadek benar-benar terkepung jika ia masih memakai strategi yang sama dengan yang selama ini ia lakukan yakni tidak mau membunuh.

Tapi seperti yang pernah Kadek tegaskan, ia bukan orang yang sebaik ayahnya. Seorang Yudhistira bahkan awataranya yang sempat lahir ke dunia ini puluhan tahun yang lalu pun takkan pernah mau menumpahkan darah orang yang tak bersalah. Karena itu meski kakeknya – Batara Yama – sudah memperingatkannya untuk tidak ambil resiko menggunakan Triwikama, Kadek memutuskan akan nekat menggunakannya.

"Triwikrama!" Kadek memutar-mutar tombaknya dan bilah tajam tombak itupun mulai melukai orang-orang di sekitaran Kadek, "DEWA AMRAL!!!"

Seketika langit di atas kota Macau menjadi tergelayut mendung, guntur terdengar, dan hujan mulai turun. Di tengah-tengah kota, Kadek tampak diselubungi kabut merah yang kemudian memicu suatu ledakan dan melontarkan ratusan orang yang tadi hendak mengeroyoknya.

Kemudian Kadek menghantamkan gagang tombaknya kuat-kuat ke aspal jalanan dan sebentuk kabut merah memisahkan diri dan membentuk sosok seekor raksasa berkulit hitam dengan urat-urat menyala merah darah. Raksasa itu – yang Kadek sebut Dewa Amral – menurunkan tangannya dan mempersilakan Kadek menaiki tangan kirinya sebelum berjalan melintasi gedung-gedung dan tanpa mempedulikan kondisi sekitar menginjak entah mobil, entah bangunan, dan apapun yang menghalangi jalannya.

Sementara itu Teja yang tadinya sudah merasa aman tiba-tiba dibuat terkejut oleh raungan sesosok raksasa jelmaan Dewa Amral itu. Matanya membeliak ketika melihat di tangan si raksasa, Kadek alias Pancawala sudah menatapnya dengan tatapan penuh nafsu membunuh. Meski begitu tatapannya dengan segera kembali normal. Suatu rencana untuk menangkis kejutan tak terduga yang dibawa Kadek sudah terlintas di kepala Teja.

Teja mendarat di sebuah areal perumahan lalu dengan wajah seolah tanpa dosa, ia menunggu Kadek yang menunggangi raksasa triwikramanya itu mendekat. Ia sama sekali tak mempedulikan tatapan penuh nafsu membunuh dari pemuda itu. Bahkan ketika jarak keduanya sudah semakin dekat, Teja hanya melangkah-langkah kecil untuk mundur.

Lalu sebuah kejutan terjadi. Kadek tiba-tiba kehilangan kontrol atas Dewa Amral dan sosok raksasa itu tiba-tiba lebur menjadi serpihan, lagi-lagi menjatuhkan Kadek ke atas aspal yang tidak empuk. Kadek mencoba berdiri tapi tidak sanggup dan Teja kini berjalan mendekat ke arah bekas cucu-keponakannya di masa silam.

"Halo? Bagaimana kondisimu, Kadek? Sudah baikan?" ledek Teja.

"Arrghh! Apa yang kamu lakukan, Bandot Tua?"

"Aku? Hmm selain Triwikrama milikku? Tidak ada! Tapi kejatuhan kamu sendiri adalah karena kamu memakai Dewa Amral! Tahu kenapa? Dewa Amral adalah wujud Triwikrama tidak sempurna. Dan astra yang kamu pegang itu? Jamus Kaali-Maa-Usada? Ia bekerja dengan prinsip dharma, semakin teguh pemegangnya pada aturan dharma ia semakin kuat tapi barusan kamu menyakiti bahkan membunuh orang tanpa pandang bulu dengan menggunakan Triwikrama milikmu. Akibatnya? Kota ini sudah kupenuhi dengan segala macam desti, teranjana, dan segala macam ilmu hitam lainnya. Segala teluh itu kini merasuki tubuhmu, menutup segala cakra dan aliran energimu, menghambat metabolisme fisik, dan yah ... kalau kubiarkan kamu akan mati sendiri dalam waktu tiga jam. Tapi sayangnya aku tidak mau ambil resiko kamu ditolong Gatotkaca atau agen Dakara lain. Jadi ...," Teja menarik keluar sepucuk pistol dari saku jasnya kemudian mengarahkannya ke kepala Kadek, "Selamat tinggal!"

******

Picu ditarik, peluru melesat, tapi sekejap kemudian tanah dan aspal yang menyangga tubuh Kadek rubuh dan menenggelamkan Kadek. Teja terhenyak dan buru-buru berlari ke arah lubang yang menelan Kadek barusan. Lubang itu seperti lubang yang baru saja digali oleh tikus mondok atau hewan tanah lain yang berukuran besar. Teja langsung paham apa yang baru saja terjadi. Ada sesosok makhluk entah apa yang menolong Kadek barusan dan dari perkiraan Teja, Nagabumi adalah makhluk yang paling sesuai untuk mendeskripsikan kondisi ini.

Teja segera berbalik dan berniat kabur namun kakinya tiba-tiba dicengkeram oleh tangan-tangan batu yang tiba-tiba muncul dari bawah aspal.

"Halo-halo? Bumi kepada Sengkuni? Apakah suara saya terdengar?" ada suara pria lain yang memanggil nama asli Teja dalam jarak yang cukup dekat namun sosoknya tak nampak.

"Antareja!" Teja menebak identitas si pemilik suara dengan suara bergetar.

"Ting-tong! Seratus untuk Anda!" sosok Hariyadi alias Antareja keluar dari bawah aspal tepat di hadapan Teja.

"Waow! Aku tak menyangka Awatara seekor Asura dari era Dwapara-Yuga masih punya kekuatan sebesar ini di zaman sekarang!"

"Aku punya teman yang kuat!" Teja menyeringai.

"Aku tahu siapa temanmu, Sengkuni! Tapi sayangnya temanmu takkan dapat menolongmu lebih jauh! Aku sudah mendengar soal pergerakanmu dari Sapta Pratala sana!" Riyadi menunjuk ke arah bawah, "Dan sebelum temanmu itu bergerak aku lebih baik menghabisimu!"

"Kamu bisa membunuhku sekarang Antareja, dan jiwaku akan dikirim ke Yamaloka, tapi ingat-ingat saja ketika 'dia' memenangkan pertempuran ini maka kamu akan bertukar tempat denganku. Aku akan jadi raja di muka bumi, kamu akan terbakar selama ribuan kalpa di neraka sana!"

======
1 kalpa = 4,32 juta tahun
======

"Temanmu akan gagal, sebagaimana kejadian yang sudah-sudah!" ujar Riyadi sembari menghantam tanah dan menarik keluar sebuah rantai logam yang kini bergerigi tajam di sisi-sisinya.

"Triwikrama ...," Riyadi mengucapkan kata-kata itu dengan penuh amarah, "Jangkarbumi Upas Anta!"

Rantai di tangannya kembali Riyadi jatuhkan ke dalam bumi dan beberapa detik kemudian muncul rantai-rantai serupa yang bergerak liar menusuki dan mencengkeram bagian-bagian tubuh Teja terutama kaki, tangan, dan leher kemudian menarik semua bagian itu masing-masing ke arah terpisah sehingga terpisahlah tubuh Teja menjadi lima bagian. Riyadi kemudian menghentak bumi dan menyelam kembali ke dalam bumi. Dalam waktu kurang dari lima menit ia sudah muncul di tempat saudara satu ayahnya – Markus – berada dan kembali memerintahkan rantai-rantai itu menjerat tiga Kurawa yang masih tersisa kemudian menyuntikkan racun ular naga dosis maut kepada ketiganya melalui rantai-rantai bergerigi tajam tersebut.

Ketiga Kurawa itupun langsung rubuh tanpa daya dan mengeluarkan suara berdeguk disertai muntah darah dalam jumlah besar sebelum akhirnya mereka semua kejang-kejang lalu tak bergerak lagi dalam beberapa menit.

"Hei Mas! Kapan datang dan naik apa?" tanya Markus yang dibuat kaget dengan kehadiran Riyadi yang tiba-tiba.

"Baru saja! Nyelem tanah seperti biasa!"

"Lihat Kadek?" tanya Markus.

"Pancawala? Dia tadi pingsan karena kelelahan dan terlalu banyak terpapar aji desti dan teluh-teluh, tapi aku rasa dia akan baik-baik saja sampai kamu bawa dia ke Indonesia!"

"Mas mau saya terbang ke Indonesia sekarang juga?"

"Ya! Dengan kekacauan semacam ini otoritas Tiongkok tak akan tinggal diam. Dalam waktu tiga jam saja Tentara Pembebasan Rakyat dari Guangdong akan memasuki Macau dan menginvestigasi kejadian ini. Jadi kusarankan kalian segera pergi saja."

"Aku sih mau saja, tapi aku harus cari makan dulu! Terbang ke Indonesia butuh banyak energi tahu!"

"Soal makan," Riyadi kembali menghentakkan kaki dan dari dalam tanah keluar sebuah kotak logam yang di dalamnya terdapat dua mangkok mie panas dan sejumlah besar roti.

"Dapat dari mana ini Mas?"

"Nyolong!"

"Buset!"

"Jangan dipikirkan! Orang-orang sipil itu juga nggak akan mikir soal ini juga! Lekas makan dan terbang ke Indonesia! Saya akan susul kalian lewat jalur dalam bumi! Di mana kita harus ketemu?"

"Seminyak, Bali!" ujar Markus.

Sang Awatara IV : Kali-YugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang