BAB XI : DANURWENDA

503 58 4
                                    

Gunung Tolangi Balease, Perbatasan Sulawesi Selatan – Sulawesi Tengah, 2 minggu kemudian

Mappangaraja rupanya benar-benar serius melakukan kejar-kejaran dengan Mahesa sampai pagi menjelang. Sepanjang malam, Mahesa diharuskan untuk bisa menghindari lesatan-lesatan anak panah yang dilepaskan Mappangaraja.

Masalahnya Mappangaraja bukan hanya sekedar menembakinya dengan anak-anak panah biasa! Kadang birokrat KPK itu menembakinya dengan anak panah rantai, anak panah berhulu ledak semacam Ayatana, sampai kadang satu anak panah yang ujungnya mirip kepala burung tapi ternyata mampu melubangi lubang pohon layaknya mata bor sehingga sia-sia saja Mahesa berlindung di balik pohon apabila Mappangaraja sudah melepaskan panah semacam itu.

Untung saja berkat kemampuan Jangkah Agya miliknya, Mahesa berhasil menyelamatkan diri dari terjangan panah-panah Mappangaraja sampai esok paginya. Meski begitu Mappangaraja merasa tidak puas dengan hasil yang dicapai Mahesa hari itu. Ia menuntut Mahesa untuk bisa menghindar sekaligus menyerang, karena itu Mappangaraja kemudian mewajibkan mereka berlatih terus saban malam entah bulan bersinar benderang atau malah tertutup awan.

Jadi beginilah jadinya. Hari ini sudah hari ke-14 Mahesa berlatih mempertahankan diri dari Mappangaraja baik ketika Jangkah Agya bisa digunakan maupun saat tak bisa digunakan. Seperti biasa strateginya adalah lari dan menghindar namun gurunya punya pendapat lain.

"Jangan main menghindar terus, Anak Muda! Balas tembak!" begitu Mappangaraja akan meneriakinya apabila jika lebih dari 10 menit yang Mahesa lakukan hanya sembunyi dan menghindar.

Tapi bagaimana mau membalas coba? Mappangaraja punya kemampuan melepaskan 30 anak panah dalam satu menit! Jika Mahesa tidak hati-hati, ia bisa saja menggores tangan atau lehernya.

"Kalau kau masih tak mau balas, aku beri kamu hujan 100 anak panah!" ujar Mappangaraja.

Diancam seperti itu, Mahesa terpaksa keluar dari tempat bersembunyinya di balik sebuah gugusan batu-batu besar dan mulai membalas tembakan Mappangaraja dengan satu anak panah yang segera saja menggandakan diri menjadi 16 anak panah dalam hitungan dua detik. Tentu saja karena tak sempat membidik dengan baik, rentetan anak-anak panah itu meleset. Bahkan Mappangaraja sudah langsung membalas serangan Mahesa dengan melepaskan satu anak panah yang sukses menancap di lengan kanan Mahesa.

Mahesa memekik tertahan sebelum menjatuhkan diri ke balik sebuah pohon besar yang akar-akarnya licin ditumbuhi lumut. Ia berusaha mencabut anak panah itu namun nyeri yang tak tertahankan membuat ia mengurungkan niatnya.

"Jika kena satu anak panah saja kamu memekik seperti itu, bagaimana kamu bisa bertahan hidup melawan musuh-musuh lain dalam jumlah besar?" tiba-tiba saja Mappangaraja sudah berdiri di hadapan Mahesa dengan posisi siap menarik anak panah.

Mahesa tidak sempat mengindar ketika anak panah Mappangaraja menembus betis kirinya. Rasa sakit dan pegal berdenyut-denyut secara bergantian dan satu hantaman busur Wijayadhanu di kepalanya membuat Mahesa kehilangan kesadaran.

******

Ketika terbangun, Mahesa mendapati dirinya sudah tak lagi merasakan nyeri. Matanya yang masih kabur ia kerjap-kerjapkan dan ketika ia sudah sadar sepenuhnya yang ia dapati adalah ia mengenakan jaket merah bernoda darah, namun ketika ia menggunakan lengan prostetiknya untuk menyingkap lengan jaketnya, yang ia dapati hanyalah sebuah luka yang sudah mengering. Mahesa juga turut memeriksa betisnya dan lagi-lagi ia mendapati hal serupa, celananya berlubang namun lukanya sudah kering-berkerak.

"Selamat pagi Anak Muda!" sapa Mappangaraja dengan nada tinggi.

"Saya ... tidur berapa lama Uwa Guru?" tanya Mahesa.

Sang Awatara IV : Kali-YugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang