Randa
Tidak ada salahnya mencoba. Dengan kalimat bijak entah dari mana itu, Randa mengutarakan keinginannya untuk jadi guru pada ayahnya. Ia mengatakannya dengan hati-hati. Ayahnya terkejut. Ia lalu menatap Randa lama-lama. Randa menguatkan tekadnya. Ia tidak ingin goyah saat pertama kali melangkah, bisa-bisa ambruk jatuh ke tanah.
"Kenapa kamu ingin jadi guru?" Itu pertanyaan pertama yang sudah diduga oleh Randa. Tentu saja ia sudah mempersiapkannya bahkan cukup lama.***
Wiranda Saka Magnolia itu namanya. Nama itu pemberian gabungan antara ayah dan kakeknya. Wira dari ayahnya artinya pahlawan dan Saka dari kakeknya yang artinya warisan. Sebenarnya, ibunya sudah mempersiapkan nama Aan Randika untuknya secara rahasia tapi setelah melahirkan, si ibu koma selama dua minggu. Saat tahu anaknya sudah diberi nama, si ibu kemudian menyempurnakannya menjadi Wiranda Saka Magnolia. Sedangkan nama Aan Randika pada akhirnya diberikan pada adik perempuannya. Nama itu dimodifikasi agar terdengar seperti nama gadis cantik. Jadilah nama itu Aan Radiqta. Meski menurut Randa, dillihat dari segi manapun, Aan Radiqta masih terdengar seperti nama anak laki-laki tapi sepertinya semua menyukainya termasuk si pemilik nama itu sendiri.
Keluarga Magnolia memiliki pengaruh besar di Pulau Ginnata. Pulau ini ada di antara pulau Kalimantan dan pulau Sumatera. Hanya ada satu kota di pulau ini. Kota itu diberi nama Daerah Istimewa Ginnata. Seperti Yogyakarta yang bukan dipimpin oleh gubernur melainkan Sultan, kota Ginnata juga tidak dipimpin oleh gubernur tapi dipimpin oleh seorang Raja.
Sebagai putra pertama dari keluarga Magnolia, Randa diharapkan menjadi pemimpin keluarga selanjutnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Randa ingin menjadi guru. Tapi rasanya tidak mungkin. Ia akan menjadi pemimpin Magnolia, lalu ia akan sibuk dengan urusan keluarga besar ini. Hampir delapan puluh persen wilayah perekonomian di Ginnata di bawah naungan Keluarga Magnolia. Dan itu artinya, tidak ada waktu untuk melakukan hal lain selain fokus dengan tugas sebagai pemimpin. Ia harus melupakan keinginannya menjadi guru. Dan Randa melupakannya.
Ayahnya mengajari Randa segala yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin dan ia menyerap semuanya. Randa itu jenius. Ia cepat belajar dan mudah mengingat banyak hal. Orang-orang memujinya dan mulai membayangnya menjadi pemimpin Magnolia di masa depan. Tapi tetap saja ternyata Randa masih menyimpan impian lamanya untuk menjadi seorang guru.
Randa tersenyum tapi itu bohong. Ia terus berbohong hingga suatu hari, ia bertemu dengan seseorang yang menertawai senyumannya. Seseorang itu masuk tanpa permisi dalam hidupnya. Saat itu, Randa tentu saja tidak suka. Ia lalu bertanya tanya mengapa orang itu tertawa.
Orang itu menjawab singkat sambil menatap mata Randa, "Kakak selalu tersenyum padahal kadang itu adalah hal lucu, hal sedih, hal yang konyol, menyebalkan, mengharukan, menengangkan dan menyakitkan."
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Em... Tertawa kalau lucu, menangis kalau sedih, tergelak kalau konyol, mendengus kalau menyebalkan, bersimpati kalau mengharukan, tertantang kalau menegangkan dan berteriak kalau menyakitkan."
"Lalu aku harus tersenyum saat kapan?"
"Saat-saat menyenangkan."
Randa tersenyum. "Apakah saat ini menyenangkan?"
"Iya, sangat menyenangkan," jawab orang itu sambil tersenyum manis.
Randa terpana. Rasanya, ia tidak ingin waktu cepat berlalu. Ia ingin orang ini terus disini dan berbicara banyak hal dengannya. Tapi tidak ada hal yang kekal. Orang itu juga harus pergi. Randa tersenyum lagi meski tidak menyenangkan membiarkan orang itu pergi. Ia harus terus tersenyum, tidak peduli apa suasana hatinya. Ia adalah calon pemimpin masa depan. Emosi adalah hal yang tabu. Sebelum pergi, orang itu menatap Randa lama-lama, lalu membisikkan sesuatu yang akan terus diingatnya hingga sekarang.
"Kak, sekarang aku tahu kenapa kakak terus saja tersenyum. Meski itu bukan hal yang menyenangkan."
Randa melihat ke matanya, "Kenapa?"
"Karena kakak terlihat manis kalau tersenyum. Aku suka senyuman kakak."
Randa tertegun. Suka? Dia bilang suka padaku?
Orang itu tersenyum. "Kak, lakukan apa yang ingin kakak lakukan. Tidak ada salahnya mencoba. Rencakan dengan hati-hati. Kalau gagal itu urusan belakangan."
Dan Randa tertegun lagi. Orang itu melambaikan tangan padanya. Randa ingin sekali berteriak, “Jangan pergi!” Tapi tidak ia lakukan. Apakah lebih baik jika aku menyusulnya saja? Randa tertawa mendengar bisikan hatinya. Ayah, ibu dan adiknya saat itu menatap tawanya dengan takjub. Tawa itu lama sekali tak terlihat. Kereka bertanya-tanya mengapa Randa tertawa. Tidak ditemukan jawaban. Randa masih tertawa.
***
Ditanya, ‘Kenapa kamu ingin jadi guru?’ Tentu saja Randa akan menjawab, "Karena aku menyukainya, itu cita-citaku sejak kecil."
Ayahnya menghela nafas panjang dan mengusir nafasnya. "Menjadi guru itu tidak mudah. Apakah kamu ingin mengatakan bahwa kamu tidak ingin jadi pemimpin baru?"
Randa diam sebentar sebelum mengangguk. Ia tahu ayahnya terguncang. Bagaimana tidak, putra yang sangat diharapakn menjadi penerusnya malah tidak ingin jadi penerusnya.
"Bisakah ayah mengizinkan aku?"
Laki-laki tua itu menghela nafas lagi. Berat sekali baginya untuk mengambil keputusan.
"Ayah, ini adalah permintaanku yang pertama untuk diriku sendiri."
Lawan bicaranya itu menghela nafas lagi dan lagi. Randa mulai pesimis. Ayahnya lalu meraih tangannya. Mereka saling bertatap mata sangat lama.
"Apa kamu yakin dengan jalan yang akan kamu ambil?"
"Yakin, ayah."
Ayahnya melepaskan genggamannya. "Cobalah, sambil fikirkan. Masih ada waktu tiga tahun lagi sampai kamu harus benar-benar memutuskan jalanmu."
Randa tersenyum. Ini senyum sungguhan, bukan senyum palsu yang sering ia suguhkan tapi senyum manis yang menawan hati, "Terimakasih, ayahanda."
Sesuatu yang tidak akan pernah duga sebelum ia mencobanya, ia dapatkan. Izin dari ayah. Waktu itu Randa masih 18 tahun. Dan tiga tahun kemudian, keinginannya masih sama. Si Ayah sudah melihat kegigihan anaknya. Ia faham bahwa anaknya juga punya mimpi. Bagi Randa, ayahnya adalah ayah terbaik di dunia. Ia tidak akan menyia-nyiakan izin itu. Ia berhasil lulus pengajuan pemindah tugas ke luar pulau, ke tempat dimana 'orang itu' berada.
***
Diqta
Aan Radiqta Magnolia adalah namanya. Anak kedua cabang utama keluarga Magnolia. Kakaknya bernama Wiranda Saka Magnolia, ayahnya bernama Harda Magnolia dan ibunya bernama Natasya Shela. Diqta benar-benar bangga dengan keluarga Magnolia. Ia ingin menjadi kuat sehingga pantas menjadi bagian dari Magnolia tapi karena ia terlahir dengan fisik lemah dan rentan sakit-sakitan, ia diawasi dan dilindungi 25 jam dalam sehari. Diqta bahkan tidak dibiarkan keluar tanpa izin dan tanpa pengawal. Diqta juga tidak dibiarkan melakukan kegiatan fisik yang berat. Singkatnya, Diqta diperlakukan sebagai harta karun nasional yang terbuat dari kaca yang mudah pecah.
Diqta diajari semua keterampilan putri seperti memasak, menjahit, melukis, bermain musik dan menejemen rumah tangga lainnya. Diqta kesal. Ia ingin belajar yang lain juga seperti beladiri seperti kakaknya. Ia hanya diajari ibunya keterampilan praktis melarikan diri dari penjahat. Diqta tidak puas dengan itu. Ia lalu diam-diam suka mengamati Randa yang sedang berlatih beladiri. Randa sangat kuat. Ia juga sangat cerdas. Melihat Randa, Diqta jadi tidak ingin kalah. Jarak mereka hanya 5 tahun.
Ketika umurnya genap 13 tahun, setelah upacara kedewasaan, Diqta membujuk ayah agar diajari beladiri sungguhan. Butuh waktu berbulan-bulan hingga ibunya menyetujui. Ibunya menekankan jangan sampai ia terluka. Diqta mengangguk-angguk mengiyakan. Ayahnya lalu mengajari Diqta Aikido. Aikido adalah bela diri tanpa menggunakan kekerasan cocok untuknya, itu kata ayahnya. Dan Diqta cukup puas dengan itu.
Ketika umur Diqta 15 tahun. Aku mendengar bahwa Kak Randa tidak ingin menjadi pemimpin Magnolia tapi ingin menjadi guru. Ayahnya sangat sedih. Diqta mendengar ayahnya berkata pada kakaknya agar memikirkan rencananya dengan matang. Diqta mendengarnya kesal. Kenapa harus sedih karena Randa tidak ingin jadi penerus? Kan masih ada aku? Aku ingin jadi pemimpin selanjutnya!
Diqta bertekad agar ayahnya mengakuinya. Lalu setelah ulang tahunnya ke 16, ia mendengar ayahnya dan kakaknya membicarakan sesuatu. Ia langsung masuk. Ia tanyakan apa yang tadi mereka bicarakan (tentu saja dia sudah tahu apa yang mereka bicarakan karena tadi dia menguping). Ayah dan kakanya saling pandang menyuruhnya duduk. Diqta duduk. Ia lalu diberitahu bahwa Randa berniat menjadi guru ke luar Ginnata untuk waktu yang tidak ditentukan sehingga mereka berencana untuk mengangkat calon pemimpin Magnolia yang baru. Dan dengan tenangnya mereka katakan bahwa mereka akan mengangkat sepupu laki-lakinya dari cabang kedua sebagai calon pemimpin Magnolia yang baru. Diqta merasa marah dan sakit hati.
"Ayah, kenapa harus mengangkat Kak Henri? Aku juga mampu menjadi pemimpin yang baru?"
Ayahnya menatapnya dengan tatapan yang biasa ia lakukan. Tatapan kasih sayang pada seorang putri (yang lemah). Ayah tidak pernah menganggapnya sebagai putri yang kuat (karena memang dia lemah). "Ayah tidak ingin membebanimu."
"Aku tidak terbebani, ayah!"
Ayahnya menunduk sedih. Diqta ngotot, benci diperlakukan seperti ini. Ia tahu, ia tidak lebih cerdas dan lebih kuat dari Randa atau pun sepupunya Hendri, tapi ia merasa sudah cukup banyak belajar. Ia yakin bisa melakukannya. Tapi bagi ibu dan ayahnya, Diqta tidak akan pernah mampu.
"Tugas sebagai pemimpin itu berat, Dinda." Suara sang ibu mengiterupsi.
"Apa karena aku perempuan yang lemah?"
Ayahnya diam saja. Matanya menyiratkan jawaban itu. Iya. "Karena kamu lemah, anakku."
Diqta menoleh pada ibunya. Ibunya mendekatinya dan mengenggam dua tangannya. Diqta ingin menangis. Aku juga anak mereka kan? Dan ia menangis. Ibu memeluknya dengan erat. Tiga jam kemudian, suara Diqta habis. Ayah dan Randa sudah lama pergi meninggalkan dia dan ibunya entah kemana. Setelah Diqta tenang, ibunya melepaskan pelukannya. Ibunya lagi-lagi menatapnya dengan kasih sayang yang membuatnya sesak. Tatapan kasih itu ditujukan pada untuk putrinya yang lemah dan tidak bisa apa-apa. Ibu membelai rambutnya. Sebenarnya Diqta benar-benar merasa nyaman, tapi akhirnya ia menjauhi ibunya.
"Ibu, aku ingin istirahat dulu di kamar." Diqta melangkah pergi menuju kamarnya. Dan ketika ia tiba di kamar, ia mengunci pintu dan menyembunyikan seluruh tubuhnya di bawah selimut.
Jika seperti ini, bukankah aku benar-benar seperti seorang anak perempuan lemah? Ngambek lalu nangis dan mengurung diri di kamar?
***
Diqta membuka mata dan melihat jam di meja belajarnya. Angka digital menunjukkan jam 02:45:15. Ia menghela nafas dan berdiri di depan cermin. Matanya merah dan bengkak. Ia menyadari bahwa dirinya lapar. Ia keluar dari kamar menuju dapur. Ia tersenyum ketika melihat menu makanan hari ini adalah salah satu makanan yang ia sukai. Ia makan dengan pelan. Sambil makan ia berfikir, Aku akan pergi dari rumah!
Dan ketika ia katakan itu pada ayah dan ibunya, mereka menatapnya dengan terkejut mendengar keputusan keinginannya.
"Diqta..." Ibu kemudian berkata dengan nada lembut.
"Izinkan aku pergi, ayah, ibu. Aku ingin mecari pengalaman."
Dan orang tuanya saling tatap.
"Aku akan menyetujui pengangkatan Kak Henri jadi pemimpin yang baru, tapi izinkan aku untuk pergi mencari pengalaman."
"Tapi Dinda..."
"Ibu, aku bisa menjaga diriku."
Mereka sepertinya tidak mengizinkanku. Dan saat itulah, kakandaku, kakak yang sangat aku banggakan masuk ke ruangan tempat kami berbicara.
"Ayah, bagaimana jika Diqta ikut denganku? Aku akan menjaganya dengan baik."
Ayah dan ibu saling tatap. Aku berfikir bahwa ikut kakak juga tidak begitu buruk. Yang penting aku bisa keluar dari wilayah sekitar rumahku ini, keluar dari pulau ini. Dan dengan negosiasi dari kakak, ibu dan ayah akhirnya mengizinkanku.
***
Dan akhirnya tibalah mereka di daratan tak dikenal ini. Sebenarnya hanya Diqta yang tidak kenal, bukan Randa. Kak Randa memberitahunya nama daratan ini. Pulau Sumatera, pulau terbesar kedua di Negeri Nusantara ini. Dan tempat yang akan kami tinggali adalah provinsi Sumatera Tenggara, lebih tepatnya di ibu kotanya, kota Tenggara. Mereka tiba di rumah yang akan mereka tempati pada tengah hari. Diqta masih merasakan seolah ia berada di tengah lautan luas. Kepalanya berputar-putar. Randa menyuruhnya segera beristirahat. Ia menurut. Randa menunjukkan kamar yang akan jadi miliknya. Ketika masuk, Diqta langsung berbaring dan tertidur. Sepertinya, ia masih mabuk laut. Randa membangunkannya pada sore harinya.
"Sudah baikan? Mandi sana."
Diqta bangun dan keluar dari kamar. Ia melihat bahwa Kakaknya sudah menata semua barang-barang dengan rapi di tempatnya masing-masing. Ia terlihat sibuk menyiapkan makan sore di dapur. Diqta mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Rasanya segar sekali tapi lama-lama jadi dingin. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk mandi. Setelah mandi ia segera keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamarnya. Ia mengenakan T-shirt dan celana training lalu keluar menuju dapur. Randa tersenyum melihat Diqta tampak menggigil.
"Sudah segar?"
Diqta mengangguk.
"Ayo kita makan."
Mereka makan dalam diam. Ini adalah kebiasaan yang ayah ajarkan pada mereka berdua. "Makanlah dengan tenang dan tanpa bicara."
Jam tujuh pagi, Randa bertanya padanya apakah ia akan ikut ke rumah ketua RT. Dan Diqta dengan sigap berkata ikut. Akhirnya ia terjebak dalam obrolan panjang tak berkesudahan antara kakak dan ketua RT. Diqta mengantuk. Tapi Randa masih juga asyik mengobrol dengan ketua RT. Ia sudah tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Matanya sangat berat dan akhirnya ia tidak tahu kalau ia tertidur begitu saja. Ketika dia bangun, dia sudah berada di kamarnya. Ia lihat jam, sudah tengah malam. Ia bangkit berjalan keluar kamar menuju kamar Randa dan mengintip. Randa sudah tidur. Ia kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidurnya.
***
Hari ini, Randa mengajak Diqta ke sekolah baru tempatnya akan mengajar. Diqta bersemangat. Ia mematut diri di depan cermin. Dengan baju T-shrt lengan panjang berwarna biru muda dan celana hitam panjang berbahan katun, rambutnya dipotong pendek seperti Randa, ia terlihat cantik (atau tampan?).
Sebelum Randa masuk ke ruang kepala sekolah, ia berpesan pada Diqta agar ia jangan pergi terlalu jauh. Diqta mengangguk-angguk saja. Ia mengamati sekeliling sekolah yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Sekolah ini begitu luas. Ia berjalan sambil terus mengamati. Berhubung hari libur, sekolah ini nampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang sepertinya memiliki kegiatan sendiri-sendiri. Tak satu pun yang dikenalnya. Dan ia sadar bahwa ia lapar. Ia mencari tempat untuk memesan makanan. Setelah berjalan cukup lama, ia menemukannya. Pemiliknya cukup ramah. Tempat itu masih berada di wilayah sekolah. Di samping tempat itu, ia melihat arena latihan memanah. Setelah makan, ia menghampiri tempat itu. Beberapa orang sedang berlatih.
Diqta menyapa orang-orang di area panahan dengan ramah dan mereka juga membalas dengan keramahan yang sama. Diqta bertanya apa yang mereka lakukan di hari libur seperti ini. Salah satu dari mereka yang ia ingat bernama Yosha menjawab dengan senyum.
"Berlatih. Bulan depan kami akan menghadapi turnamen memanah antar sekolah."
Diqta mangangguk-angguk. "Boleh saya mencoba?"
Mereka mengizinkan kelancangannya. Ia pernah berlatih memanah bersama Randa diam-diam. Ia memang tak sehebat Randa, tapi ternyata tembakannya selalu tepat dan membuat orang-orang terkejut, senang dan bertepuk tangan untuknya. Ia tentu saja senang. Orang-orang yang sedang berlatih panah berhenti dan memperhatikannya. Setelah semua anak panahnya habis, mereka mengerumuni Diqta. Mereka bertanya dari mana asalnya, sekolah dimana dan lain-lainnya. Diqta bingung akan menjawab apa.
Dan saat itulah tiba-tiba bahunya dicengkram seseorang. Ia menoleh. Belum sempat ia bertanya kenapa, orang itu sudah meninju wajah Diqta. Diqta merasakan sakit di pipi sebelah kirinya. Suasana begitu hening. Dan sekali lagi orang itu melayangkan pukulannya. Kali ini tepat di perut membuat Diqta terhuyung ke belakang. Ia mencoba berdiri sambil meringis kesakitan. Ia mencoba mengingat kesalahan apa yang telah dilakukan sehingga ia mendapat dua pukulan bertubi-tubi seperti ini. Tapi seluruh alam sepertinya menyuruh Diqta beristiahat dulu. Pandangannya menjadi gelap dan ia tak sadarkan diri.
***
Gara
Hanggara Zhang Ling, itu nama lengkapnya. Dia adik angkat Liona. Orangnya cerdas tapi terlalu bangga pada dirinya sendiri. Ia yakin dirinya adalah yang terbaik dan selalu akan menjadi yang terbaik. Akan ia kalahkan semua orang yang mencoba menyainginya. Dan sampai hari ini, tidak ada yang bisa sejajar dengannya. Tidak satupun! Hanggara mulai bosan dan muak dengan orang-orang dianggapnya bodoh itu. Ia menjaga jarak dengan mereka dan mereka juga menjaga jarak dengannya. Orang-orang itu mendekat hanya ketika ada perlunya dengannya dan Hanggara tidak akan pernah mendekati orang-orang itu karena Hanggara merasa tidak membutuhkan mereka.
Hanggara benar-benar tidak begitu suka dengan basa-basi dan apa lagi perkenalan. Karena itu, ketika ini baru masuk sekolah, ia hanya berdiri menyebutkan namanya lalu segera duduk kembali. Orang-orang ingin berteman dengan jadi menjauh gara-gara sifatnya itu. Tapi karena dia adalah siswa terbaik, orang-orang mulai tidak ambil pusing. Dan seperti yang sudah dikatakan di awal, kebanggannya adalah menjadi yang tebaik. Ia anak menjadi yang terbaik dalam hal apapun dan dimanapun. Di pertarungan, pertandingan dan bahkan latihan. Sebenarnya bahkan Hanggara tidak butuh latihan karena ia sudah menguasai semuanya dengan baik, tapi hari ini ia terpaksa datang ke tempat latihan panahan karena permintaan ketua klub. Hanggara sebenarnya tidak mau tapi, gadis tomboy itu yang tak lain adalah kakak angkatnya memaksanya dengan begitu gigihnya.
"Tunjukkan kepandaianmu. Mereka perlu motivasi, Hangga."
Hangga dengan malas menunjukkan kepandaianku. Semua orang memperhatikannya. Lalu terdengar sebuah panah melesat bersamaan dengan anak panah yang ia bidikkan. Panah mereka mengenai sasaran bersamaan dan semua orang bertepuk tangan. Bukan hanya untuk Hanggara tapi untuk orang itu. Hanggara menoleh. Orang itu membidikkan anak panah lagi. Hanggara segera membidikkan anak panahnya. Dan bidikkannya selalu mengenai sasaran. Hanggara yang angkuh tidak suka disaingi. Ia marah.
Siapa dia?
Hanggara melotot pada orang yang nampak asing itu. Orang itu aneh seperti orang asing dari wilayah barat dan Hanggara yakin orang itu bukan anggota klub. Bidikannya selalu menyaingi bidikan Hanggara.
Apa dia menantangku?
Hanggara marah. Ia terus melawannya.
Ini menyebalkan!
Hingga anak panahnya habis, yang disoraki dan dikerumuni bukan dia tapi orang itu. Hanggara naik darah. Dadanya membara. Rasanya ada api yang berkobar-kobar. Dengan geramn tanpa sadar dia berjalan mendekati orang itu. Hanggara menaarik bahunya dan melayangkan tinjuan ke dagu kirinya. Hanggara masih merasa belum puas. Amarahnya masih menggelegak. Dengan kekuatan penuh ia mengangkat kakinya dan memberi tendangan ke arah perutnya. Orang itu terhuyung.
Cih! Dia bahkan tidak mengelak atau menangkis!
Hanggara kesal. Ketika ia hendak melayangkan serangan untuk ketiga kalinya, beberapa orang memeganginya kuat dan menariknya menjauh. Dan segera ia melihat orang-orang mengerumuninya. Hanggara tidak tahu apa yang terjadi. Ia baru sadar ketika Ia melihat Liona membawa seseorang yang tidak sadar dalam gendongannya berlari meninggalkan arena panahan. Suasana menjadi begitu gaduh. Dan Hanggara dilanda perasaan yang selama ini sudah lama Ia hilangkan. Kecemasan!
Apa yang arusan aku lakukan? Bagaimana jika dia mati? Aku akan jadi pembunuh?!
Hanggara terduduk lemas. Orang-orang menjauhinya. Mereka berbisik-bisik. Ia tahu mereka mengumpatinya dalam bisik-bisik itu. Hanggara tida peduli. Ia benar-benar diluar nalar. Ketika ada orang yang menyainginya, ia selalu meladeninya. Seperti Liona yang selalu menyainginya, Hanggara tak segan-segan pada Liona. Ia sudah terbiasa bertarung dengan Liona. Kalau Liona, ia akan mengelak dan menangkis. Ia lupa orang itu bukan Liona.
Hanggara menghelas nafas, kemudian segera berdiri. Ia mendekati salah satu dari orang-orang berbisik-bisik, menanyakan kemana orang itu tadi di bawa oleh Liona.
"Klinik sekolah."
Hanggara segera berlari dengan cepat ke klinik sekolah. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya sekitar 300 meter dari arena panahan. Klinik sekolah berdiri bersebelahan dengan kantor kepala sekolah. Ketika ia tiba, seseorang keluar dari ruangan itu. Ia menatap Hanggara sejenak.
"Hanggara?"
Hanggara mengangguk ragu. Segera ia menerima sebuah tinjuan di dagu kirinya dan sebuah tendangan di perutnya. Ia terhuyung dan meringis kesakitan. Ia hendak marah dan membalasnya tapi tiba-tiba orang yang meninju dan menendangnya itu menarik tangannya membantunya berdiri.
"Sakit?" Tanya orang itu dengan lembut.
"Tentu saja sakit, bodoh." Hanggara berteriak sambil melayangkan tinjuannya. Orang itu dengan sigap menangkap kepalan tangan Hanggara.
"Begitu juga adikku."
Hanggara terkejut dan mendongak. Orang itu tersenyum padanya. Hanggara tidak bisa berkata apapun. Orang itu terlihat mirip dengan orang yang baru saja ia pukul dua kali di arena panahan.
"Hutangmu sudah lunas. Kamu boleh pergi." Setelah bicara begitu, orang itu kemudian masuk ke dalam ruang klinik.
Hanggara masih berdiri tertegun ketika Liona, ketua klub panahan menepuk pundaknya. "Ma'af Hangga, aku yang memberi tahu bahwa kamu yang memukul adiknya."
Hanggara menoleh pada Liona. "Dia kakaknya?"
Liona mengangguk. "Ketika aku membawa orang itu, ia keluar dari ruang kepala sekolah. Ia melihatku dan orang yang aku gendong. Ia tiba-tiba menghampiriku dan menghentikanku. Ia menatapku lama-lama dan membuat aku merinding ketakutan. 'Berikan dia padaku. Dia adikku,' ucapnya dengan tegas. Aku memberikannya. 'Kamu ikuti aku,' perintahnya kemudian padaku. Ketika kami tiba di klinik dan dia membaringkan orang ia katakan adikknya, ia kembali menoleh padaku. Ia menatapku lama-lama lagi dan aku semakin ketakutan. Dan ia tersenyum. 'Bisa katakan padaku apa yang terjadi?' Dan aku menceritakannya dengan sedikit gemetar. Itulah yang terjadi hingga ia keluar hendak mencarimu di arena pahan dan kamu datang menyerahkan nyawamu padanya." Liona mengakhiri ceritanya cepat.
Hanggara melihat ke arah pintu ruang perawatan.
Lioan menatapnya, "Mau masuk, dek?"
Hanggara menatapnya dengan horror, "Jangan pangil aku begitu!"
"Aku ‘kan kakakmu."
"Kamu hanya kakak angkatku!"
Liona hanya tersenyum, ia selalu begitu. Membuat Hanggata semakin tidak menyukainya. Liona menarik tangan Hanggara dan membuka pintu klinik. Dan dua orang yang ada di dalam menoleh pada dua orang yang masuk. Hanggara terdiam tak sanggup berbicara. Liona menyeretnya mendekat. Ia membungkuk dan memaksa Hanggara membungkuk juga. "Ma'afkan dia."
Hanggara kesal dengan sikapnya yang suka memaksa seperti ini.
Liona menolehkan wajahnya pada Hanggara, "Ayo dek, katakan ma'af padanya."
Hanggara menepis tangan Liona yang masih membungkukkan kepalanya. "Jangan panggil aku begitu! Aku tidak mau kau jadi kakakku!"
Hanggara jadi emosi lagi. Tapi ia mencoba sabar kali ini. Ia menoleh pada orang yang terbaring di tempat tidur. Dengan keengganan yang besar, ia membungkukkan badan sedikit. "Ma'af." Dan segera pergi dari ruangan itu kemudian berlari menjauh dari ruang klinik.
Liona menatap Hangga yang melarikan diri. Ia menoleh pada Diqta dan Randa. "Ma'afkan dia. Dia itu memang pemalu."
Diqta dan Randa saling tatap. Randa tersenyum tetapi Diqta terlihat cemberut.
"Saya Liona Qian. Yang tadi Hanggara Zhang. Mungkin tidak sama dengan hubungan kalian, tapi dia adikku. Lebih tepatnya adik angkat. Yah... Meski dia tidak mengakuiku."
Diqta dan Randa saling tatap lagi. Mungkin sedikit bingung fikir Liona.
"Jangan difikirkan. Oh ya boleh saya tahu nama kalian?"
Hening sesaat.
"Boleh." Randa akhirnya memecahkan keheningan itu. "Saya Wiranda Saka. Dan ini adik saya Aan Radiqta."
Dan perkenalan singkat itu di sela oleh suara nada dering dari hape di saku baju kemeja yang dikenakan Liona, "Sebentar."
Liona sedikit menjauh dan menekan icon telepon berwarna hijau mulai berbicara pelan suara pelan. Dua sudara Magnolia saling tatap.
Liona menutup teleponnya dan kembali pada mereka. "Ma'af saya harus segera pergi. Jika ada yang hendak dibantu datanglah ke klub panahan. Saya akan ada di sana." Lalu Liona pergi.
Diqta melihat pada kakaknya. "Kak, aku sudah baikkan."
"Lalu?"
"Ayo kita pulang."
Randa tersenyum, "Iya."
***
Seminggu yang lalu.
"Aku sekolah?" Teriakkan nyaring terlontar dari bibir Diqta ketika Randa mengatakan bahwa ia akan masuk sekolah. Masa aku sekolah lagi sih? Ia menggerutu dalam hati.
"Iya. Kamu akan didaftarkan di kelas satu."
"Tapi kak, aku kan sudah tamat sekolah."Nah kelas satu lagi!
"Sekolah kita dan sekolah di sini berbeda sistem pembagian umurnya."
"Beda bagaimana?" tanya Diqta meminta penjelasannya.
Randa menjelaskan tentang tingkatan di kota Ginnata sekolah itu dibagi jadi sekolah Dasar dari umur 5 sampai 9 tahun, MenengahPertama dari umur 10 sampai 12 dan Menengah Atas 13 sampai 15 tahun.Tapi di kotaTenggaraini, tingkatan pendidikan sedikit berbeda pada jenjang umurnya. Di kota Tenggara dan kota lain pada umumnya ada prasekolah dasar yang disebut Taman Kanak-Kanak dari umur 5 sampai 6 tahun. Sekolah Dasar 7 sampai 12 tahun, Menengah Pertama 13 sampai 15 dan Menengah Atas 16 sampai 18 tahun. Setelah itu baru mereka bisa berkerja sesuai bidang dan minatnya masing-masing. Karena umur Diqta baru 16 tahun, maka Diqta akan bersekolah di sekolah menengah Atas atau disingka SMA kelas satu disini.
Mendengar Randa, Diqta merengut. Ia bosan belajar terus. Sejak di Ginnata, ia sudah terus-terusan belajar. Ia coba untuk berargumen,"Tapi kakak kan tidak sekolah disini, kok bisa jadi guru disini?"
"Karena saya sudah jadi guru di Ginnata selama 3 tahun dan lulus mengajukan surat pindah ke kota Tenggara,” katanya. Ia melihat ke arah Diqta yang nampak tak terima.
“Kalau kamu tidak mau sekolah disini. Kamu harus pulang dan jadi guru dulu 3 tahun di sana. Ajukan surat pindah dan kalau lulus baru boleh kembali ke sini."
Diqta semakin mengerut. "Iya deh, aku sekolah di sini kak." Tentu saja ia tidak mau pulang. Sudah capek-capek ke luar pulau, masa’ harus pulang lagi.
Randa nampak puas. "Okke. Belajarlah yang rajin. Kakak tidak akan mengistimewakan kamu. Ingat itu."
"Aku faham. Aku ini ‘kan jenius."
***
Gadis manis itu mematut di depan cermin. Ia lihat baju seragamnya yang berwarna putih berlengan panjang dan rok biru aqua panjang hingga ke mata kaki cocok dengannya. Tinggal menyisir rambut yang sudah ia panjangkan kembali dengan obat pemanjang rambut. Ia ikat rambutnya menyamping ke kiri dengan rapi dan ia biarkan anak rambut tergerai di keningnya. Ia senyum pada dirinya di cermin. Wajah Randa muncul di dalam cermin, tersenyum sumringah padanya.
"Sudah selesai berdandannya?"
Diqta menoleh. Kak Randa benar-benar keren, pujinya dalam hati. Randa mengenakan pakaian resmi, kemeja putih lengan panjang dan jas hitam dengan celana panjang yang juga hitam. Diqta senang melihatnya. "Sudah kak."
"Ayo kita berangkat. Ini hari pertama."
"Siap kak."
Dua saudara itu pergi ke sekolah. Dan akhirnya Diqta berdiri di sini. Seorang guru wanita mempersilahkannya untuk memperkenalkan diri pada seluruh kelas.
"Saya Aan Radiqta. Salam kenal." Diqta mengangkat rok panjangnya di dua sisi sedikit dan membungkukkan kepalanya beberapa centi. Ia mengangkat kepalanya dan menyaksikan bahwa tatapan seluruh kelas terfokus padanya. Tatapan orang-orang padanya hanya satu kata mewakilinya, ‘aneh’.
"Kamu seperti seorang tuan putri ya?"
Diqta menoleh pada sumber suara. Seorang gadis tersenyum padanya. Gadis itu ingin bercanda tap Diqta menganggap itu serius. Diqta berfikir lalu menjawab,"Saya rasa saya bukan seorang tuan putri. Karena ayah saya bukan raja."
Di kota Ginnata, itu cara memperkenalkan diri yang sopan dan formal. Guru lalu mengatakan bahwa mereka bisa bertanya-tanya pada Diqta saat jam istirahat. Diqta dipersilahkan untuk duduk di kursinya yang baru. Ketika ia tiba di kursinya, ia terperanjat dan mundur selangkah. Diqta menemukan seseorang yang duduk disebelah kursinya. Ia tidak bisa tidak menatapnya dengan horror. Orang itu adalah orang yang meninjunya tanpa sebab beberapa hari yang lalu. Diqta edarkan pandangannya ke sekelilng kelas mencari kursi lain yang kosong. Tapi sayang sekli, kursi kosong hanya ada di samping orang itu saja.
"Baiklah, Hanggara mulai sekarang dia akan jadi partnermu. Bekerjasamalah dengannya," ucap ibu guru pada pemuda itu.
Pemuda itu mendecih dengan tidak suka. Diqta duduk dengan hati-hati tanpa suara. Benar-benar tidak nyaman. Meski pelajaran hari ini adalah pelajaran yang ia suka, Diqta merasa sedang berada di pengadilan dengan dirinya sebagai tersangka utamanya. Dan ketika Diqta menceritakannya pada Kakaknya, Randa hanya tersenyum sambil mengacak-ngacak rambut Diqta.
"Baik-baiklah dengannya ya," katanya dengan senyuman khasnya yang sangat Diqta suka.***
Bersambung, .
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Loveliest [End]
Genç KurguAku Liona Qian R. Tahun ketika umurku genap 14 tahun, ayah dan ibuku meninggal dalam insiden kecelakaan kapal. Hanya aku penumpang yang selamat. Aku lalu di bawa oleh pamanku ke rumahnya di kota Ginnata. Aku merana, terluka dan putus asa. Aku diam-d...