Chapter 3 : Coffee Talks

202 10 4
                                    


Hari ini seperti biasanya suasana Kopitology tampak lengang di waktu senja menuju malam. Hanya ada tiga meja yang terisi temasuk di sudut favorit pelanggan Kopitology yang berada di semi lantai dua, memberikan kesan privasi dari lantai di bawahnya. Alana selalu memilih duduk di sana agar mendapatkan suasana tenang. Dia sedang menatap layar laptop di depannya dengan raut muka serius menuju stres sambil  sesekali menyesap teh rasa orange-earl grey.

Diliriknya ponsel yang ada di sebelah Macbook-air-nya ketika ada tanda pesan masuk berturut-turut dari salah satu grup whatsapp-nya.

Blurred Line (Whatsapp Group)
Dian Kusuma: Yuhuuu
Dian Kusuma: Pada di mana?
Nico Adenan: Di hati lo beb
Noemi Saras: is typing...
Dian Kusuma: Beb beb pale lo!
Noemi Saras: Kelas cui
Dian Kusuma: Nama gw Dian!
Nico Adenan: Deh ngambek
Benjamin M. : otw ke RS
Alana A. : Kopitology
Alana A. : Join me anyone?
Dian Kusuma: Sama siapa?
Nico Adenan: Hmm
Alana A. : Sendirian
Alana A. : Report gw blm slse nih!
Dian Kusuma: Lo msh lama?
Dian Kusuma: Anter Selma ya Ben?
Alana A. : is typing...
Nico Adenan: Apa gw pindahin date gw ke        sana ya?
Alana A. : Ogah! Awas ya lo Nik!
Alana A. : Masih Di. Come and help me pls!
Nico Adenan: is typing...
Dian Kusuma: Okeh! Wait for me
Nico Adenan: Kidding girl, but if it's disaster, I'll come

Alana kembali menatap layar macbook-air-nya yang baru menampakkan halaman ke-tiga dari rencananya yang yah at least sepuluh halaman esensi dari buku yang dia pilih untuk tugas bulanan salah satu mata kuliah yang dia ikuti. Alana mendesah sambil menatap nanar buku Infinite Jest – David Foster Wallace yang terbuka menantang ditelaah isi ceritanya. Ingin rasanya dia menjambak-jambak sosok cowok yang membuat dia mengambil jurusan English literature. Otaknya lama-lama bisa hangus kebakar gara-gara kebanyakan mikir dan membaca buku-buku yang paling minim tebelnya dua ratus halaman.

I love you so much, Bi. No matter how absurd and weird and thoughtless one of your wildest dreams ever that make others look at me like I'm such idiotic girl to take the major, which seem doesn't fit on me.

"Hi, Alana,"

Alana menoleh dari Mac-nya menuju ke arah suara yang menyapanya, "Oh, hi Athaya." What on earth? Kenapa sih dia suka nongol belakangan ini.

"May I join?"

"Oh, yes, please." Alana merapikan beberapa barangnya yang berserakan di meja.

Athaya kemudian menarik kursi dan duduk. Dia menatap cewek dihadapannya yang hari ini memakai kaca mata dengan tatanan rambut cepol tinggi sedang memandang serius layar laptop berukuran 13 inchi-nya. Untuk beberapa menit tidak ada percakapan yang terjadi diantara mereka, akan tetapi Athaya nampaknya tidak keberatan sama sekali.

Senyum khas asimetris Athaya merekah ketika melihat Alana mengernyitkan dahinya dengan keras.

"Tugas kuliah?"

"Hm," Alana bergumam mengiyakan sambil menandai sebuah paragraf dengan stabilo.

"Lo tau sekarang kebanyakan orang terkadang bergantung dengan yang namanya entertainment untuk mendefinisikan sebuah kebahagiaan. Bagaimana hiburan dari kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer."

"So, what's your entertainment?" pungkas Alana yang menyadari bahwa cowok yang ada di hadapannya mengetahui buku yang terbentang di meja.

"Gue?" Athaya memiringkan kepalanya sesaat sebelum menyesap segelas hot cappuccino, "Buat gue minum kopi dan nikmatin waktu sampe kopi gue habis itu salah satu bentuk hiburan,"

STARDUST #wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang