Tujuh - Di Kota Alien

32.3K 1.5K 86
                                    

Setelah satu setengah jam di dalam pesawat, akhirnya mereka tiba di Surabaya. Pesawat mendarat mulus sekitar pukul 11 siang. Ya, semulus petikan gitar dari perut mereka.

Mereka berdua, kelaparan.

"Nad, gue laper," kata Adam, singkat.

"Sabar," balas Nadia, tak kalah singkat.

Adam dan Nadia berencana mencari taksi menuju destinasi selanjutnya, yaitu rumah Nadia. Nadia berkata, bahwa hari ini akan sangat melelahkan.

"Melelahkan? Emang mau kemana?" Adam penasaran.

Nadia nyengir. "Nanti sampai rumah gue kita taroh barang-barang. Habis itu kita langsung ke Tunjungan Plaza, ketemu sama temen gue. Terus ketemu Ayah di rumah. Terus malemnya kita jalan-jalan."

Adam menyesal bertanya. Gue kirain definisi sibuk adalah rapat, atau Nadia harus ke kantor apa ngurus apa, dan segala kegiatan yang agak berotak dikit. Nah ternyata? Sibuknya Nadia tuh cuma sekedar ke Tunjungan Plaza, terus jalan-jalan!

Seketika, Adam menaruh sesal, menuruti permintaan Nadia tuk pergi ke Surabaya. Tau gini mending gue di Jakarta aja, kerja, banting tulang, lihat para pramugari seksi, terus main PS sampai pagi, terus buang air, terus makan masakan Nyokap. Ya, seenggaknya sibuk gue masih dikit ada artinya.

"Adam, kita nanti mampir ke supermarket bentar ya. Soalnya kayaknya di rumah kulkas kosong. Kata Ayah mendingan aku beli bahan makanan dulu," katanya lagi.

Adam mengangguk pasrah. Misalkam Adam menolak pun, ujungnya mereka tetap ke Supermarket, kan? Nadia bagai alien ajaib, tak bisa dilawan.

"Jawab, Adam! Awakmu gelem a melok aku?" tanya Nadia lagi. Adam tak begitu paham, tapi ia menyimpulkan, kalau Nadia bertanya, 'kamu mau ikut gak?'

"Kan gue udah ngangguk," balas Adam, kesal.

"Lah gue kan tadi gak ngeliatin lo. Mana gue tau lo ngangguk. Makanya, kalau ditanya ya jawabnya pakai suara."

Buset. Galak bener, Nadia. Bagi Adam, Nadia adalah definisi singa betina. Tidak PMS pun, dirinya tetap galak!

"Guaaaanas, rek!" Adam keceplosan. Gue hampir ngakak, kok gue ketularan bahasanya si Nadia, ya?

Nadia ngelirik judes. "Opo'o?!"

Adam nyengir. "Nggak, Nad, nggak."

Wah, Adam membayangkan diri jika ia benar-benar menikah dengan Nadia. Bisa-bisa, predikat 'suami takut isteri', jatuh padanya.

Beruntung, taksi datang begitu cepat. Mereka berdua langsung masuk ke dalam taksi. Gerah. Pertama karena udara Surabaya yang super panas. Kedua, karena alien di sebelah Adam--alias Nadia--mengundang aura merah, panas.

*

Taksi berhenti di sebuah Supermarket. Tak begitu jauh jaraknya. Buktinya, tak sampai lima belas menit, mereka sudah tiba disini.

"Taksinya nunggu kita di sini?" tanya Adam heran. Sok kaya banget dong, Nadia, kalau dia nyuruh taksi nunggu kita lama-lama di sini, sementara tarifnya tetep jalan? batin Adam.

"Gak lah. Mbok pikir duitku mblarah-mblarah?"

Adam manyun. Sebal. "Kan cuma nanya!"

"Itu, rumah gue udah deket dari sini. Jadi dari supermarket ke rumah gue, ya kita jalan aja."

Oh, gitu.

Okelah. Berhubung udara di sini sangat panas, Adam buru-buru masuk ke supermarket. Ngadem. Es krim kayaknya juga enak, ya.

Nadia's Journey (Diantara Dua Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang