#5: Kekecewaan

181K 13K 810
                                    

"Aku menyesal karena sudah bersedia menikah denganmu." Adrian mengucapkan kalimat itu dengan nada penuh kekecewaan. Selepas itu, ia berjalan tergesa menuju kamarnya, meninggalkan Rea yang masih membeku.

Adrian tidak peduli, bahwa tadi pagi ia begitu bahagia melihat senyuman Rea. Begitu bersemangat melihat perubahan Rea. Semuanya tidak ada artinya sekarang. Yang ada hanyalah perasaan kecewa luar biasa, benci luar biasa. Padahal Adrian sempat berpikir kalau dirinya sudah mulai merasakan cinta pada wanita itu, sebelum akhirnya wanita itu menghempaskannya keras-keras ke dasar jurang.

Di dalam kamar, Adrian tidak bisa tenang. Ia melangkah tak tentu arah. Sesekali diraihnya barang apa saja, dan dilemparkannya penuh amarah. Seumur hidup, Adrian tidak pernah merasa semarah ini.

Ya, bagaimana mungkin wanita yang ia nikahi memiliki pikiran seburuk itu. Bahwa ia dan keluarganya membelinya? Omong kosong. Bahkan Adrian sendiri tidak tahu menahu soal wanita itu, untuk apa ia harus membelinya. Dan....memenjarakannya? Bahkan wanita itu bilang ia akan membiarkan dirinya menderita dan membusuk di rumah ini. Omong kosong macam apalagi itu? Sekalipun, ia tidak pernah berniat membuat Rea terpenjara, apalagi menderita. Kenapa kalimat Rea begitu pahit ia kecap, terasa menyakitkan di gendang telinganya?

Adrian berusaha mengatur napasnya yang memburu. Ia tidak bisa membiarkan kemarahan menguasai dirinya. Ia harus bersikap tenang, meski semarah apa pun kondisinya saat ini. Adrian memutuskan untuk menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia akan berpura-pura tidur, setidaknya untuk membuat kemarahannya sedikit mereda.

Saat itulah, Adrian dikejutkan oleh kedatangan Rea. Dengan tanpa aba-aba, tiba-tiba saja pintu kamar Adrian sudah terbuka. Ia melihat wanita yang sangat ia benci sekarang menatapnya pias. Namun Adrian membalasnya dengan tatapan garang.

"Kenapa kau kesini, aku sama sekali tidak ingin melihatmu sekarang," Adrian berseru, nada suaranya meninggi. Melihat Rea hanya diam saja, suara lantang Adrian kembali menggelegar. "Kenapa kau diam saja, cepat pergi. Keluar dari kamarku sekarang juga."

Entah wanita itu terlalu bodoh untuk melihat kemarahannya atau justru terlalu pintar untuk membuat Adrian kembali dirasuki kemarahan, tapi Adrian bisa melihat jelas kalau langkah Rea semakin mendekat. Ia juga bisa melihat butiran air mata mengaliri wajah pias Rea.

Mata tajam nan menusuk milik Adrian tak sedetik pun ia palingkan. Ia terus mendaratkannya di bola mata Rea. Bahkan saat tubuh Rea sudah berdiri tepat di depan ranjang tidurnya, ia bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan wanita itu.

"Aku akan memberikan tubuhku sekarang."

Seketika saja, tubuh Adrian terlonjak dari atas ranjang. Ia berjalan menghampiri Rea dan menatapnya penuh kebencian.

"Omong kosong macam apalagi ini?"

"Tidak, aku serius. Sentuhlah aku sekarang. Aku akan memberikan semua milikku asalkan kau tidak menceraikanku."

"Apa kau gila? Kenapa aku harus membutuhkan tubuhmu sekarang. Apa sekarang kau bermaksud benar-benar menjual tubuhmu padaku?"

Suara Rea tercekat, ia tidak bisa langsung menjawabnya. Tapi ia sudah bertekad untuk melakukan ini.

"Benar, aku sedang menjual tubuhku padamu."

Adrian tertawa mengejek. "Dengan kemarahanku sekarang, apa kau pikir aku akan tertarik?"

"Jika kau tidak tertarik, aku akan memaksa." Rea hampir tidak berekspresi saat mengatakan kalimatnya. Ia sudah pasrah apa pun yang terjadi. Jika artinya, hidupnya harus hancur, akan ia lakukan asalkan kedua orang tuanya tidak ikut hancur.

"Kau benar-benar gila. Keluar sekarang, aku tidak membutuhkanmu dan aku sama sekali tidak ingin melihatmu," perintah Adrian seraya mengacungkan telunjuk kirinya ke arah pintu keluar.

It's Love, Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang