"Kapan kau akan keluar dari rumah ini?" tanya Adrian ketus, tanpa basa-basi. Ia memutuskan untuk kembali ke ruang tamu, menghampiri mereka berdua. Rea yang masih sibuk merapikan kotak P3K, dan Vino yang masih duduk sambil menatap wajah Rea dari samping, serempak menolehkan wajah begitu mendengar pertanyaan Adrian barusan.
Vino sudah mengambil ancang-ancang untuk membalas ucapan Adrian, tapi terlambat, Rea sudah lebih dulu mengangkat suara.
"Tenang Adrian, dia hanya berkunjung sebentar. Aku akan menyuruhnya pulang setelah dia membersihkan diri," Rea menatap Adrian lembut, menyunggingkan senyum.
Adrian terdiam, jika Rea yang bicara, ia tidak lagi diliputi kemarahan. Ia menatap Rea sebentar, mencari kesungguhan atas ucapan Rea tadi, dan Adrian mengangguk. Sinar teduh di mata Rea terlalu sulit ia lawan. Tidak ada alasan baginya untuk tidak setuju dengan ucapan Rea itu.
Tapi saat sepasang mata Adrian melihat ke samping, di mana Vino berada, darahnya kembali naik ke ubun-ubun. Lihatlah, betapa tajamnya Vino menatap Adrian, tatapan yang menyiratkan kebencian mendalam.
Vino bersiap protes. "Rea, sudah kubilang–"
"Adrian...kau boleh ke kamarmu sekarang," dengan cepat Rea memotong perkataan Vino, tatapannya tertuju ke arah Adrian. "Biar aku yang akan mengurus ini," lanjutnya kemudian.
Adrian menimbang-nimbang sebentar, dan tak lama kemudian ia mengangguk. Meski sebagian hatinya tidak rela membiarkan Rea bersama laki-laki itu, tapi mendengar ucapan Rea tadi soal 'dia yang akan mengurusnya' membuat Adrian tidak mungkin mendebat Rea. Ya, mungkin lebih baik begitu. Ia akhirnya berbalik, mulai melangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
Tinggallah Vino dan Rea di ruang tamu. Vino sudah bersiap dengan segala macam kata protes, tapi Rea buru-buru menarik lengan laki-laki itu, menyeretnya ke suatu tempat.
Dan tempat yang dimaksud itu adalah kamar Rea. Seketika saja mulut Vino terkunci rapat saat tahu ke mana Rea membawa dirinya, ini sudah lebih dari cukup. Dalam hati ia tersenyum senang, berpikir mungkin ia akan sedikit bermesra-mesraan dengan kekasihnya. Tapi perasaan senangnya itu tidak berlangsung lama, karena saat keduanya sudah berada di dalam kamar, Rea justru melepaskan pegangannya di lengan Vino, lantas berjalan menuju lemari pakaian.
"Mandilah sekarang juga, dan pakailah ini. Kau tidak bisa pergi dengan penampilan seperti ini." Rea mengangsurkan setumpuk kain yang terdiri dari handuk, kaos lengan pendek dan celana jeans. Sebenarnya itu milik Adrian tapi untuk sementara ini, ia akan meminjamkannya pada Vino.
Lagi-lagi Vino bersiap protes tapi tangan Rea lebih dulu mendorong tubuh Vino untuk segera bergerak menuju kamar mandi.
***
Rea sudah asyik membaca novel dengan posisi berselonjor di atas ranjang tidurnya ketika Vino keluar dari kamar mandi, lima belas menit kemudian.
"Rea..." panggil Vino pelan. Seketika Rea mendongak, menatap laki-laki yang berdiri tak jauh darinya. Penampilan dan wajah Vino terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya, meski bekas luka pukulan itu masih terlihat jelas.
"Rea, aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini," lanjut Vino dengan sorot mata redup. Rea membuang napas pendek, menaruh novel di ranjang lantas bergegas bangkit dan menghampiri Vino.
"Vino, dengar. Aku tahu ini sangat berat bagimu, karena ini juga sangat berat bagiku. Tapi membiarkanmu tinggal di rumah ini, itu sangat tidak masuk akal." Rea menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau tahu sendiri kan, Vino, posisiku saat ini sedang dalam keadaan tidak berdaya, hanya mengharapkan belas kasihan dari Adrian. Dan apa kau pikir, dengan posisi seperti ini Adrian akan membiarkan kekasih istrinya tinggal satu rumah dengannya. Tidak." Rea kembali menggelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Love, Real Love
Romance"Kita menikah bukan atas dasar cinta. Aku tidak mencintaimu dan aku yakin kau juga tidak mencintaiku. Jadi berhentilah bersikap seolah-olah aku menyiksamu. Kau dengar, Rea? Aku bahkan tidak akan tidur di kamar ini, dan akan menjalani kehidupanku sep...