#16: Diabaikan

148K 7.7K 366
                                    

"Sudah ku bilang aku mencintaimu, Rea. Aku mohon jangan minta aku melakukan itu, karena aku tidak mungkin melakukannya. Kau istriku, dan selamanya akan menjadi istriku."

Dari balik kelopak mata Adrian, Rea bisa melihat genangan air yang tertahan disana.

Rea menggeleng samar, perasaannya sudah buncah. Ia tidak bisa menahan dirinya lagi, tidak bisa. Dan seketika saja Rea menjatuhkan tubuhnya ke dada bidang Adrian. Tangannya melingkari pinggang Adrian erat. Tangisnya tumpah. Ia tidak peduli lagi sekarang. Ia menangis dalam pelukan Adrian.

Entah apa yang Adrian pikirkan saat ini, tapi Rea bisa merasakan tangan Adrian ikut merengkuh tubuhnya erat. Mereka berdua berpelukan lama. Dan tak seorang pun yang berniat ingin melepas pelukan itu.

Adrian pikir, apa yang Rea lakukan sekarang adalah jawaban bahwa wanita itu tidak akan menuntut cerai darinya. Karena ia bisa merasakan pelukan Rea sangat erat melingkari tubuhnya. Juga tangisannya yang seolah menegaskan kalau Rea memang tidak menginginkan perceraian ini. Tapi semua yang dipikirkannya itu salah besar. Pelukan hangat dan panjangnya bersama Rea itu adalah pelukan yang dimaksudkan sebagai pelukan perpisahan. Rea tetap akan meminta cerai. Bahkan meski Adrian menolak sekalipun, ia akan tetap mengajukan gugatan cerai. Ia sudah memutuskan untuk pergi dari Adrian selamanya.

"Tidak, kau tidak boleh melakukan itu!" Adrian berseru tertahan. Rasa marah, sedih, kecewa, putus asa bercampur jadi satu. Perasaan Adrian teraduk-aduk.

"Pernikahan ini harus kita akhiri Adrian. Aku tahu kau terluka mendengar keputusan ini, tapi tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Aku harus kembali pada Vino."

"Tidak!" Adrian menggelengkan kepala, kedua tangannya mengepal, meremas ujung jarinya kuat-kuat. Berusaha mengalihkan kemarahan yang sudah sampai dipuncaknya. Apapun yang Rea katakan, ia tidak peduli. Ia tetap tidak akan bercerai dengan Rea. Ia akan mempertahankan Rea bagaimanapun caranya.

"Adrian..." Rea ingin menyentuh wajah Adrian, namun berhasil ditepis Adrian.

"Hentikan! Jika kau hanya ingin meminta cerai dariku, maka pembicaraan ini sudah tidak perlu dilanjutkan lagi. Aku tidak mau mendengar apapun yang kau katakan." Adrian berbalik, berjalan menuju jendela dan melemparkan pandangannya ke depan. "Dan sekarang, pergilah dari ruanganku!" perintah Adrian setengah berteriak.

Rea membeku. Tidak percaya dengan apa yang baru saja Adrian katakan. Laki-laki itu baru saja mengusirnya.

"Aku minta maaf, Adrian, tapi aku harus melakukan ini," Rea berkata lirih. Ia akhirnya berbalik, melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.

Sekarang hanya tinggal Adrian seorang diri. Ia sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Airmatanya ia biarkan mengalir begitu saja. Tidak peduli meski seluruh dunia akan memandangnya lemah karena tangisannya itu. Kepedihan hatinya sudah mencapai batas tertinggi. Semua yang ia rasakan hanyalah soal rasa sakit dan rasa sakit.

Sekarang Adrian mengerti kenapa ada orang yang memutuskan bunuh diri karena cinta. Ia bisa merasakan itu, cintanya yang hancur akan membuat kematian jauh lebih indah dibanding melanjutkan hidup. Tapi Adrian masih memiliki iman, ia tidak akan melakukan hal hina itu meski sebagian hatinya teramat menginginkannya.

Jika pada akhirnya Rea pergi darinya, mungkin saja ia sudah tidak bisa merasakan cinta lagi. Ia sudah kalah dalam percintaan ini. Cinta sejati yang ia pertahankan, ternyata hanya sebatas cinta sendirian.

***

Airmata Rea masih meleleh ketika kakinya berhasil keluar dari ruangan Adrian. Melihat itu, Dika bergegas keluar dari meja kerjanya dan menghampiri Rea yang menangis tertunduk.

"Apa anda baik-baik saja?" Dika bertanya hati-hati, meski sebenarnya ia tahu kalau wanita yang ia ajak bicara tidak sedang baik-baik saja.

Rea mengangkat wajah, berusaha menghapus airmatanya dengan punggung tangannya. Lantas memaksakan senyum.

It's Love, Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang