Rea berniat akan beranjak meninggalkan Adrian yang sudah berjanji untuk diam di kamar. Tidak akan ke mana-mana sebelum Rea kembali. Dan tepat saat itulah, Rea mendengar sebuah suara.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya sekarang. Jantung Rea berdetak kencang, raut kepanikan tergambar jelas di wajah Rea. Siapa di sana? Mungkinkah itu Vino? Dan bagaimana dengan Adrian? Apakah semuanya akan terbongkar saat ini juga?
Melihat Rea hanya mematung, Adrian mulai beringsut ke tepian ranjang, menapakkan kaki dan mulai berjalan, bermaksud ingin membuka pintu. Tapi untunglah Rea berhasil menguasai dirinya kembali, dan langsung menangkap Adrian yang semakin dekat melangkah ke daun pintu.
Rea menggeleng-gelengkan kepala, wajahnya menegang.
"Ada ap–?" Rea memotong pertanyaan Adrian, membekap mulutnya cepat. Lantas menyeret Adrian agar kembali ke ranjang.
Rea memberi isyarat untuk tidak bicara dan meminta Adrian untuk kembali berbaring. Adrian ingin sekali protes tapi tak kuasa, demi melihat wajah Rea yang semakin kuyu dan pucat.
Adrian menurut, dengan posisi badan berbaring ke samping, matanya tetap awas melihat Rea yang juga ikut berbaring. Posisi mereka berhadap-hadapan. Hati Adrian berdesir hebat, angannya sudah terbang tinggi, menari-nari di angkasa, merasakan kedekatan yang mereka lakukan sekarang. Meski ia tahu betul, wajah Rea tidak terlihat sebahagia dirinya tapi ia teramat bahagia dengan apa yang dilakukan Rea sekarang. Ini adalah posisi terdekat yang bisa Adrian jangkau. Bahkan Adrian bisa merasakan desiran napas Rea yang tak beraturan, ia bisa melihat setiap lekuk wajah cantik Rea, bisa menerawang ke dalam bola mata coklat Rea. Dan semua ini nyata, ada di depannya.
Bibir Adrian melukis senyuman manis. Ia sudah terhipnotis oleh pesona Rea. Dan ia berdoa agar selamanya seperti ini saja. Apalagi saat Adrian melihat wajah Rea semakin mendekat, melewati hidung dan bibirnya, menyentuh pipinya sedikit dan berlabuh di telinganya, berbisik lembut. "Tolong...jangan bersuara," pinta Rea lirih.
Adrian membeku, dalam hati ia berseru kencang. "Tidak, aku berjanji tidak akan bersuara." Berharap Rea akan melakukan sesuatu yang lebih dari berbisik di telinganya. Tapi sekian detik kemudian, harapan itu melebur. Perlahan Rea menjauh, meninggalkan Adrian yang masih berada di atas awan, membuatnya kembali ke alam nyata.
Rea berjalan menuju pintu kamar. Ya Tuhan, Adrian sampai lupa bahwa sejak tadi ketukan pintu itu masih bergema. Belum ada yang membukanya. Dan sepertinya Rea-lah yang bersiap membuka pintu itu, membuyarkan semua harapan indah Adrian.
Sebelum meraih gagang pintu, Rea sempat menoleh menatap Adrian. Meletakkan jari lentiknya ke atas bibirnya sendiri, memberi isyarat pada Adrian agar tetap diam. Adrian jelas langsung mengangguk, kedua matanya masih dipengaruhi oleh pesona Rea yang sudah mencengkeram hatinya kuat-kuat.
Kurang dari sepuluh detik, Rea sudah menghilang dibalik pintu kamar. Bukan hanya melihat siapa yang datang, tapi Rea juga ikut menemui orang itu di luar kamar. Meninggalkan Adrian sendirian, yang mulai sibuk merangkai kembali saat-saat indah yang baru saja ia lewati bersama Rea, meski hanya sesaat.
***
Ya Tuhan. Ternyata itu hanya Bik Asih, pembantu rumah tangga keluarganya. Dia-lah yang mengetuk pintu kamar Rea sejak tadi. Yang sudah membuat Rea merasa di ujung tanduk, karena ia pikir itu Vino.
"Ada apa, Bik?" tanya Rea selesai menghembuskan napas penuh kelegaan.
"Itu, Non. Den Vino meminta Bibi buat memanggil Non Rea. Dia lagi ada di dapur sama Nyonya."
"Oke, Bi. Saya akan segera ke sana. Terima kasih." Rea berjalan mendahului Bik Asih.
Syukurlah, setidaknya kiamat masih belum terjadi. Rahasianya masih belum terbongkar, meski sesungguhnya tabir rahasia yang ia tutup rapat-rapat bisa tersingkap didetik berapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Love, Real Love
Romance"Kita menikah bukan atas dasar cinta. Aku tidak mencintaimu dan aku yakin kau juga tidak mencintaiku. Jadi berhentilah bersikap seolah-olah aku menyiksamu. Kau dengar, Rea? Aku bahkan tidak akan tidur di kamar ini, dan akan menjalani kehidupanku sep...