1

4.4K 187 2
                                    

"Kan sudah ku bilang, biasanya kau pergi dengan Sasuke kalau ada rapat Naruto," ujar diriku dengan sedikit emosi.

"Tapi aku sudah menunggumu lama, dan hasil yang kudapatkan kau malah akan pergi dengan Sakura," balas dirinya dengan agak geram, aku yakin sebentar lagi pasti dia akan marah.

"Maaf, tapi aku tidak tahu kalau kau menungguku anata..." aku agak memelas, berharap dia akan mereda setelah ini.

"Ck... kau ini egois. Kamu tahu sebenarnya aku memang ditawari untuk bersama Sasuke, tapi aku menunggumu karena ku kira kau membutuhkanku untuk mengantarmu. Waktuku terbuang untuk menunggu kamu," bentaknya kepadaku.

"Apa aku harus membatalkan janjiku dengan Sakura, anata?" jawabku dengan pelupuk mata yang agak basah.

"Lebih baik tidak, karena aku juga akan mendiamimu kalau kau ikut denganku sekarang." Ujarnya sambil berlalu menuju pintu keluar, setelah sebelumnya menyambar coat cokelat miliknya adan kunci mobilnya.

Brakk

Dia membanting pintu dengan keras, dan bersamaan dengan itu aku jatuh terduduk. Menangis dalam diam, hanya sedikit membantu meluruhkan ke kesalanku. Dan tidak lama kemudian bel rumah kembali berbunyi, langsung ku usap air mataku. Berharap dengan sangat kalau itu adalah suamiku, tetapi nihil. Dari layar aku melihat yang datang bukan suamiku, melainkan Sakura. Ah, aku berharap dokter satu itu tidak melihat bahwa aku habis menangis.

XXX

"Benar kau tidak apa-apa Hinata?" tanya wanita merah muda itu.

"Daijoubu, kau pulanglah, aku akan menunggu Naruto-kun," jawabku dengan senyum yang agak dipaksakan.

"Uh, baiklah Hinata. Maaf ya, kau jadi harus menemaniku untuk berbelanja kebutuhan calon anakku ini hehe," ujar Sakura, aku yakin ia pasti tahu aku sedang bermasalah dengan Naruto.

"Iya tidak apa-apa, hati-hati ya Sakura-chan," aku melambaikan tanganku sembari melihat langkah Sakura yang semakin menjauh.

"Hhh... kapan ya Naruto-kun pulang..." aku bergumam sendiri sembari menghela nafas berat.

.
.

Ting tong

Ting Tong

Bel rumah berbunyi, dan aku berharap itu adalah suamiku. Dan saat kulihat ke intercom, benarlah itu suamiku. Aku langsung membukakan pintu rumah, dan tersenyum semanis mungkin. Berharap semua kelelahan dan rasa amarah suamiku hilang. Tapi sepertinya aku...

"Anata, mau makan atau mandi dulu?" aku bertanya, namun dia melenggang pergi meninggalkanku begitu saja.

Sudah pasti aku diabaikan.
.
.
.
Aku melihat ia menuju ke dapur, sepertinya ia lapar. Walaupun dia masih marah, aku tidak boleh tidak melaksanakan kewajibanku.

"Anata, aku siapkan makan ya..." aku langsung menuangkan nasi ke mangkuk makan suamiku, dan menyiapkan lauknya. Tetapi lagi-lagi ia hanya minum air putih dari kulkas dan langsung melenggang menuju kamar kami. Tetapi, sambil berjalan pergi samar-samar aku mendengar,

"Aku sudah makan," dan hal itu sukses membuat hatiku sedikit berdenyut. Baiklah, mungkin memang dia sudah makan. Sebaiknya aku menyiapkan air panas untuknya.

"Anata, aku siapkan air panasnya ya," aku berbicara di ambang pintu kamar. Tetapi kenyataannya, dia sedang mandi tanpa menunggu diriku menyiapkan air panas seperti biasanya. Lagi-lagi hatiku berdenyut. Apa aku sampai sebegitu salahnya? Aku tidak bisa lagi membendung perasaan sedihku, air mata lolos begitu saja dari netra amethyst ku.

Dengan cepat aku menuju ruang gambarku, ya aku adalah seorang arsitek. Jadi aku perlu sebuah ruang gambar untuk diriku sendiri. Dan di tempat itu pula aku mengurung diri, tidak lupa aku mengunci pintu ruangan itu. Dalam gelap aku menangis sepuas-puasnya, aku telah begitu lama memndam rasa sakit yang kusimpan sendiri ini.

Naruto, suamiku selalu hidup dalam ke egoisannya, tanpa tahu aku selalu memendam sakit karena nya. Aku terlalu lemah untuk membalas semua perkataanya itu, aku tahu dia salah tapi aku tidak tahu bagaimana caraku untuk mengatakan bahwa ia salah. Karena setiap aku membalasnya, justru akan berakhir seperti ini. Biasanya aku hanya bisa terus-terusan berpura-pura baik-baik saja, dan tersenyum seperti tadi.

Tapi kali ini aku sudah cukup sakit hati, karena masalahku dengannya hanyalah sebuah masalah sepele yang terlalu dibesar-besarkan olehnya. Aku menangis dengan tersedu-sedu, sampai rasanya setan jahat sedang membisiki diriku untuk menyakiti diriku sendiri. Apa daya aku tidak kuasa menahan gejolak perasaan yang selama ini ku tahan.

Dan tidak lama kemudian aku mendengar suara ketukan di pintu. Aku yakin itu past dia, tapi aku tidak tertarik sekalipun untuk membukakan nya. Aku kemudian malah berbaring di balik pintu itu sebelum akhirnya aku terlelap dalam kesedihanku.

To be Continued

A/n : lagi galau jadi bikin ginian #plak
Gimana menurutmu lanjutannya? Mueheheheh

Hurt [Naruto Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang