Part 1

8.2K 664 60
                                    

Pagi yang cerah, burung-burung dan udara segar menyapaku pagi ini dari celah jendela kamar. Aku baru saja selesai mandi, lalu bergegas memakai pakaian casual dan tak lupa memasukkan seragam kerja di dalam tas ranselnya. Aku shift pagi hari ini.

Aku, Danesa Stefani sering dipanggil Essa adalah seorang bidan di rumah sakit Ibu dan Anak di Bali. Sebenarnya aku dipindah tugaskan dari Jakarta ke Bali. Mau bagaimana lagi sudah tuntutan pekerjaan. Mau menolak pun rasanya tidak bisa. Daripada aku dipindahkan ke Papua. Pulang-pulang dari sana rambutku keriting. Jangan dibayangkan pasti memggelikan. Di Bali aku mengekost, kebanyakan rekan kerja yang senasib denganku.

Aku menggoreng telur mata sapi untuk sarapan pagi ini. Namanya juga anak kost pintar-pintar mengirit pengeluaran. Setelah matang aku taruh di atas nasi putih yang masih mengepul. Ditambah sambal botolan. Begini saja nikmat apalagi ditambah empal daging sapi.

Tokk.. Tokk.. Tokk..

Baru saja aku mau menyuap sudah ada yang mengganggu. Aku yang duduk bersila di depan tv terpaksa bangun untuk membuka pintu. Dengan malas aku melihat Rahmi di depan pintu dengan cengiran khasnya. Kadang-kadang membuatku ilfil.

"Apa?" Tanyaku marah.

"Ya ampun, kak Essa pagi-pagi udah makan naga?." Aku mendelik. "Nerima tamu itu dengan ramah tamah. Apalagi tamunya secantik aku," aku berpura-pura ingin muntah.

"Dasar mimi!. Mau ngapain?" Seloroh ia masuk ke dalam tanpa ku suruh. Ini anak tidak ada sopannya!.

"Aku mau nebeng motor ke rumah sakit," ucapnya sembari melirik piring yang di dekatnya.

"Emangnya kamu shift pagi juga?" Aku duduk dengan cepat gerakan mengambil piringku takut di ambil Rahmi.

"Iya, sama," matanya tidak lepas dari telur mata sapiku. Tanpa memperdulikannya aku makan dengan lahap. Ia menelan ludahnya ingin. Rahmi mendengus ketika piringku sudah ludes.

"Buruan kak, nanti kita terlambat!" omelnya tidak kebagian telur. Dalam hati aku tertawa. Aku baru ingat hari ini ada temanku yang ingin check up ke 8 anaknya. Produksinya aku kira hampir tiap tahun. Ia adalah Eka Juliana sahabatku, kami bersahabat sudah cukup lama. Awalnya dulu aku yang membantu melahirkan anak pertamanya. Stevhany, kini berusia 8 tahun. Anak-anak Eka sangat menggemaskan.

Andai saja aku sudah menikah. Aku pasti ingin memiliki anak seperti mereka tapi dengan jumlah yang sedikit. Membayangkan mempunyai anak 8 langsung lemas tubuhku. Tidak kuat melahirkan dan menjaganya.

"Iya..iya.. Cerewet! Jangan sewot begitu gara-gara tidak kebagian telur. Memangnya kamu tidak sarapan di rumah?" Aku mengambil hijabku lalu  bercermin untuk memakainya. Merapihkan lekukan atas hijabku lalu meniti dibagian leher.

"Udah tapi kesini jadi lapar lagi," ucapnya nyengir. Aku menepuk jidatku.

"Dasar perut karung!" Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari tanganku mengambil kaos kaki baru di dalam lemari. Rahmi itu perawat magang di rumah sakit tempatku berkerja usianya 19 tahun. Sedangkan aku berusia 27 tahun. Makanya ia memanggilku dengan sebutan  kakak. Usiaku siap untuk menikah namun belum ada pria yang serius denganku. Terlebih aku masih menginggat seseorang yang menjadi mantanku.

I always remember him..

"Iya, sebentar!" aku lupa menaruh piring ke dapur. Biarlah, pulang nanti aku bereskan. Aku jinjing tas ranselku. "Yuk, Mimi." Aku memanaskan motor matic ku yang sudah ada diluar. "Berangkat sekarang," Rahmi langsung naik ke motor. Aku memboncenginya. Tiap hari kurasa ia ikut bersamaku hanya ingin mengirit ongkos.

Kami berdua menikmati udara yang berhembus dari arah depan. Naik motor ini sangat menyenangkan bisa cuci mata. Banyak bule-bule yang half naked. Kadang juga aku tidak suka tapi untuk Rahmi itu mubajir kalau tidak dilihat.

Remember Him (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang