2. Kabut

56 1 0
                                    



Kabut. Ah setiap hari di sini selalu turun kabut. Li sudah bersiap di balik motornya. Udara dingin terasa menusuk tulang. Dari tempat parkir ini, Li melihat kerlap kerlip lampu di ujung sana. Indah. Dan ketika Li mendongak ke langit, bulan tampak bersinar terang. Li melirik arlojinya. Pukul delapan. Malam ini Li harus lembur karena ada server yang down.

Li mengancingkan jaketnya rapat sampai ke leher. Semoga perjalanan lancar batin Li. Dia menyalakan motornya dan bersiap melaju ketika dia mendengar seseorang memanggil namanya. Li pun menoleh.

"Pak Pascal belum pulang?" tanya Li kaget. Seharian ini sibuk sekali sampai Li melupakan teman Mas Boris ini.

Laki-laki itu tergopoh menuju ke arahnya. "Belum Li. Tadi saya membicarakan soal mesin dengan Boris, sampai tidak terasa waktu berlalu. Kamu pulang sendiri dengan motor ini?"

"Betul Pak," kata Li masih terheran-heran kenapa teman Mas Boris ini belum pulang juga. " Pak Pascal diantar siapa? Bukannya sudah disiapkan sopir?"

"Ada. Kamu pulang sama saya saja ya? Malam-malam naik motor begini, apa nggak bahaya buat kamu?"

"Saya sudah terbiasa kok Pak. Insya Allah aman," Li melirik ke samping. Sebuah Avanza berhenti di samping mereka. "Tuh mobil Pak Pacal sudah menunggu. Sampai ketemu besok Pak Pascal," kata Li sambil menyalakan motornya.

"Nggak Li. Saya pulang sama kamu saja. Saya khawatir sama kamu. Sudah kamu pindah di bangku belakang," kata Pascal tegas. Li hanya bisa bengong dan terpaku.

"Pak Pascal, naik motor itu dingin. Nanti Bapak masuk angin loh. Bapak kan belum biasa."

"Kamu pilih salah satu Li. Naik mobil kantor saya saya atau saya ikut naik motor ini bersama kamu Li?"

Pilihan yang sulit. Li menimbang-nimbang. Sebenarnya Li pengen naik motor saja karena lebih asyik. Li bisa menikmati kabut. Li bisa merasakan aroma hutan yang segar. Ah tapi kalau terjadi sesuatu dengan Pak Pascal, sakit misalnya, bisa-bisa dia disalahkan oleh Mas Boris.

"Sudah to mbak naik mobil aja. Nanti saya antar sampai kost kok," kata Pak Warno, sopir yang bertugas malam itu.

Li mengalah. Dia memarkir kembali motornya, menguncinya dan melangkah masuk ke dalam mobil di iringi oleh Pak Pascal.

Selama dalam perjalanan mereka hanya diam. Pak Pascal juga tidak berusaha mengajaknya bicara. Dia terlalu asyik bicara dengan Pak Warno. Baguslah. Li memang sedang malas berbasa-basi.

****

"Heh, dengar-dengar semalam dikau mau coba-coba mendekati si gunung es ya?" tanya Adit, dari bagian Accounting. Kantin sedang ramai. Pascal yang sedang asyik makan sotonya, menatap heran ke Adit.

"Gunung es?" tanya Pascal tidak mengerti.

"Oh lupa aku kamu orang baru. Itu si Liandri, gunung es dari kutub utara."

"Oh Li. Memangnya kenapa dia dipanggil es batu?"

"Saking diam dan cool nya."

"Hm begitu?"

"Yup. Except you want to try," kata Adit sambil nyengir.

"Memang dia belum married?" tanya Pascal.

"Belum. Status available."

Tantangan yang menarik kalau itu bukan Li. Tapi yang dihadapinya adalah Li. Ada perasaan segan di hati Pascal. Apalagi di hari pertama dia bekerja di sini, Li banyak membantunya. Dan menurut Pascal, selama beberapa hari dia mengenal Li, cewek itu nggak diam-diam banget. Menjaga jarak iya, tapi tidak seperti gunung es.

Kabut dan PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang