10. My Rival

22 1 0
                                    



Mereka terjebak macet di Grogol. David mengipasi wajahnya, kentara sekali bule ini sangat kepanasan dengan udara Jakarta walau taksi yang ditumpanginya adalah taksi Silver Bird, bukan sekedar Blue Bird.

"Macet total Dave. Sabar ya," kata Li mencoba menghibur. Dulu Hasriel juga suka uring-uringan dengan kemacetan Jakarta tapi lama kelamaan sepertinya sudah kebal juga.

David mendengus kemudian melemparkan pandangannya ke jendela di mana sejauh pemandangan yang ada hanya mobil yang berjajar rapat.

"Kamu rencananya ke Muara Enimnya kapan Dave? Biar aku pesenin tiketnya," kata Li membuka percakapan. Siapa tahu bisa mengalihkan David dari kemacetan yang melanda.

"Lusa."

"Lusa, Jumat ya? Pesawat jam berapa?"

David tersenyum simpul. "Nggak naik pesawat kok."

"Lah trus naik apa? Onta?"

"Hahaha, lucu Li."

"Jangan becanda Dave. Kalau nggak naik pesawat trus naik apa?"

"Bus," sahut David kalem.

"APA? Bus kamu bilang Dave?"

"Yup. Aku pengen lihat Selat Sunda Li. Pengen melihat Bukit Barisan yang berjajar sepanjang Pulau Sumatera. Pengen lihat hutan-hutan di sepanjang jalan lintas Sumatera."

****

Hasriel ngomel panjang pendek waktu didengarnya Li ke Muara Enim naik bus. Pengen rasanya ditonjoknya bule penggemar artifak itu. Tapi Li berusaha menyabarkan Hasriel. Diusapnya punggung kekasihnya yang memang sangat sensitif dengan segala urusan yang menyangkut David. Dari sejak mereka di Amerika Hasriel selalu uring-uringan kalau menyangkut urusan David. Beberapa kali Li harus beradu argument dengan Hasriel dan kemudian jadi pertengkaran hebat. Heran juga. Seolah Hasriel dan David adalah musuh bebuyutan. Padahal bertemu pun baru saat Li kuliah di Amerika.

"Kamu sendiri aja yang naik pesawat. Dia kalau mau naik bus ya terserah."

"Ya nggak bisa donk Riel. Aku sama David kan satu team. Lagian aku juga nggak tahu tempatnya dimana. Kalau aku naik pesawat trus landing di Palembang, aku harus lanjut lagi ke Muara Enim. Jarak Palembang ke Muara Enim lebih kurang empat jam. Bisa-bisa aku tersesat donk."

Hasriel memijit keningnya. "Dari pada kamu harus naik bus dan duduk berdampingan dengan bule itu berjam-jam dan bergelap-gelapan, mending aku yang antar kalian berdua. Lusa aku antar kamu dan David ke Muara Enim."

"Memangnya kamu mau naik bus? Kramat jati? Lorena?"

"Aku akan bawa mobil Li. Aku ikut menginap di situ sehari atau dua hari sekedar melepas lelah. Baru setelah itu aku balik lagi ke Jakarta. Tapi bilangin si bule, cukup sekali ini aku ngikutin kemauan dia."

"Nggak usah segitunya Riel. Kamu pasti capek," kata Li dengan perasaan bersalah.

"Jangan difikirin. Nah aku pulang dulu. Kamu istirahat ya. Lusa perjalanan kita panjang."

"Kalau kamu ikut gimana dengan kerjaan kamu?"

"Li, teknologi itu nggak dibatasi ruang dan waktu. Selama koneksi internet lancar, selama itu juga aku bisa kerja. Kaya kamu bukan orang IT aja," kata Hasriel mengelus rambutnya sambil tersenyum sayang.

Kabut dan PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang