3. Wake Up

30 1 0
                                    



Li masih menekuri sebuah makam. Aku selalu berdoa buat kamu Di desahnya. Diliriknya ke samping. Bowo, kakak iparnya, tepatnya mantan kakak iparnya duduk di samping makam dengan pandangan menerawang jauh.

Ah, Li mendesah. Bersamaan itu, angin mengacak-acak rambutnya.

"Pulang yuk Mas," ajaknya menarik tangan Bowo.

"Sudah selesai?" tanya Bowo sambil memandangi mantan iparnya ini. Bowo sangat prihatin dengan Li. Berat badan Li merosot tajam setelah Adi meninggal. Seluruh keluarga Bowo sudah meminta Li untuk tinggal bersama mereka, namun Li selalu menolak dan lebih memilih bekerja di Malang.

Beriringan mereka ke luar dari area makam. Sudah setahun Adi meninggalkan mereka. Bowo menarik tangan Li masuk ke mobilnya. Mobil itu pun berlalu meninggalkan area pemakaman.

Jalanan lenggang. Persis suasana hatinya saat ini. Bowo melirik ke samping. Li masih menatap ke depan, dengan bibir terkatup rapat.

"Sudah nggak sedih lagi kan?" tanya Bowo hati-hati.

"Sedikit Mas. Kadang-kadang masih ingat sama Adi."

"Tapi sudah nggak nangis tiap malam lagi kan?"

"Nggak Mas. Sekarang Li sudah bisa mengikhlaskan Adi."

"Bagus itu. Kalau kamu sedih terus, Adi tentu lebih sedih di sana."

"Iya Mas. Thanks."

Bowo kembali konsentrasi ke jalanan. Malam ini ada pengajian di rumah. Pengajian rutin tiap minggu di mana semua keluarga besar papa dan mama berkumpul. Untuk itulah Li datang ke Jakarta.

Kanker otak, gumam Bowo dalam hati. Siapa sangka, Adi, saudara satu-satunya, mengidap penyakit mematikan ini. Adi yang lincah. Adi yang jago basket. Adi yang pinter. Dan semua itu harus berakhir karena penyakit itu. Penyakit yang merenggut Adi dari kehidupannya.

Awalnya ketika mereka baru tiba di Inggris dalam rangka liburan. Saat itu Adi pingsan di Bandara Heathrow. Karena khawatir, Bowo membawa Adi ke sebuah rumah sakit di situ.

"Nggak, ini nggak mungkin. Sialan!" maki Adi sambil meremas hasil scan kepalanya.

Bowo penasaran. Direbutnya kertas itu dari tangan Adi. Kanker Otak Stadium Empat?

Lutut Bowo langsung lemas.

"Bisa jadi ini hasil scan kepala orang lain Wo. Bisa jadi hasil scan ini salah. Nggak mungkin gue kena kanker otak. Lo tahu gue selalu sehat kan Wo? Diare aja nggak!" teriak Adi makin histeris.

Bowo memijit kepalanya. Mencoba mencerna apa yang terjadi saat ini.

"Kita periksa ke rumah sakit lain Di."

"Wo, kita ke sini kan mau liburan. Inget nggak cita-cita kita berbackpacker keliling Eropa. Kita belum ke Finlandia Wo seperti rencana semula. Peduli setan sama hasil scan ini."

Bowo mencoba membantah. Tapi Adi tidak bisa dibantah. Khas Adi sekali, keras kepala.

Ketika tiba di Jerman, lagi-lagi Adi pingsan. Perasaan Bowo mulai diselimuti perasaan tidak enak. Apalagi ketika hasil scan yang keluar sama dengan hasil scan waktu mereka di London. Fakta yang tidak bisa dibantah oleh Adi.

Adi menciumi kakinya. Dia memang berumur enam tahun lebih tua dari Adi. Tapi hubungan mereka sangat dekat lebih cenderung sebagai sahabat daripada kakak dan adik. Dia bisa curhat apa saja ke Adi dan begitu juga Adi ke dia. Kenapa Adi begini terhadapnya, memeluk kakinya sambil bersimbah air mata.

Kabut dan PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang