11. Dejavu

17 1 0
                                        



Dusun Precet – Gunung Kawi – Kabupaten Malang

Beep. Satu pesan di email pribadinya. Dari Bowo, yang juga pakai email pribadi. Email pribadi biasanya mereka gunakan untuk becandaan, cela-celaan. Ya buat seru-seruan aja.

__________________________________________

From: Parbowo

Subject: How are you there?

Date: March 1, 2010: 08.00 AM

To: Hasriel

Hasriel, how are you there?

Still a live?

Btw, ide bagus bangun tower di Gunung Kawi.

Kalau soal ide gila, lu emang jagonya.

Ayo, ada ide yang lainnya nggak?

Bowo

__________________________________________________________________

Hasriel tersenyum.

Malam ini suhu mencapai lima derajat celcius. Bisa dibayangkan dinginnya (walau nggak sedingin kalau pas musim dingin di Eropa sana). Sudah satu bulan Hasriel di sini. Ini bagian dari program CSR (Corporate Social Responsibility) PT. Digsacom. Mengajar komputer, memperkenalkan teknologi kepada penduduk di sini dan membangun fasilitas telepon dan internet buat tiap kantor kepala dusun dan kepala desa di sini. Satu bulan di sini tanpa balik ke Jakarta walau dia tetap melaksanakan semua tugasnya di Digsacom. Precet dia pilih untuk menjadi tempat tinggal selama di sini - dari semua dusun yang ada - karena dusun ini relatif lebih tenang jauh dari kebisingan. Mungkin karena letaknya yang lebih di terpencil dibanding dusun lainnya.

Salah kalau orang-orang bilang dia ke sini karena dia sakit hati karena Hasriel memang merasa nggak sakit hati. Hasriel sudah bisa menebak ketika dulu Li minta ijin untuk penelitian candi. Mana ada sih orang gali candi hanya dalam waktu seminggu? Hasriel sudah bisa menebak kemana larinya kisah cintanya yang nggak berujung bersama Li. Walau sampai saat ini, belum ada kata putus, baik dari Li atau Hasriel. Karena Hasriel memang nggak pernah mau putus dari Li. Tapi kalau Tuhan berkehendak lain, Hasriel hanya bisa memasrahkan kisah cintanya pada perjalanan nasib.

Setidaknya Hasriel bangga, pernah begitu sangat mencintai seorang perempuan bernama Li. Seenggaknya Hasriel sudah memberikan apa yang dia punya buat kebahagiaan Li.

Hasriel beranjak ke jendela yang tertutup dan membukanya lebar. Di sini Hasriel tercekat. Dan ini bukan karena dinginnya suhu. Kabut, desahnya. Rasanya Hasriel sudah sering banget melihat kabut. Di London. Di Muara Enim, walau ini jenisnya bikin Hasriel sempat semaput, kabut asap akibat pembakaran hutan. Kini, kabut itu melayang-layang ke arahnya seolah ingin menghibur hatinya yang kesepian. Reflek, Hasriel menadahkan dua tangannya seolah ingin menyentuhnya. Dingin. Kosong. Itu yang dia rasakan. Beginikah perasaannya saat ini? Dingin seperti kabut? Kosong tanpa isi? Benda itu melayang lagi di tangan Hasriel antara nyata dan nggak nyata seolah mengingatkan Hasriel akan kisah cintanya bersama Li, senantiasa berada diantara kabut, antara nyata dan nggak nyata.

Lagi-lagi Hasriel tercekat.

Kemudian dia menatap langit. Gelap. Tapi Hasriel malah tersenyum. Rasanya Hasriel melihat kabut yang tadi disentuhnya, melayang ke langit lepas. Kabut itu menatap ke arahnya, membalas senyumnya. Dan anehnya kabut itu malah membentuk dua hufuf. Li. Hasriel terpana, masih menengadahkan matanya ke langit. Rasanya langit bersinar terang, karena nama Li terukir di situ. Tapi kemudian Hasriel malah tercenung. Masak gue bisa senyum-senyum nggak jelas begini hanya karena kabut? Dan mana mungkin kabut bisa melukis nama Li? Hasriel sudah bersiap menutup jendela. Tapi tangannya seolah terhenti, mengambang di udara. Kabut itu datang lagi, menghampirinya. Memaksanya untuk melihat langit lagi. Dan lagi-lagi Hasriel terpaku menatap langit.

Kabut dan PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang