Seminggu telah berlalu. Kepergian Ria meninggalkan luka tersendiri untuk Tia dan Zidan. Terlebih Zidan yang sampai sekarang masih merasa bersalah, perang dingin antara dirinya dengan Afwan pun semakin menjadi-jadi.
Bagi Zidan ini tak masalah. Karena memang dirinya pantas untuk mendapat semua perlakuan ini. Bahkan seharusnya lebih.
Tia sendiri pun berusaha tegar menghadapi semua pahit kehidupan ini. Kabar Kepergian Ria di berbagai media memang banyak mengundang opini orang-orang yang terkadang membuat Tia gemas sendiri. Terlebih kini dirinya Hidup sebatang kara, dan itu bukan lah hal yang mudah, apalagi Tia adalah seorang wanita. Berbahaya memang kalau seorang wanita hidup sendiri. Tapi Bagaimana pun jika dirinya menikah pasti akan banyak pertimbangan dari pihak keluarga pria bukan?. Dan itu semua hanya bisa menambah beban hidup nya saja.
"Mbak yakin ingin ke Jogja?" Tanya Ayraa yang kini ikut dengan Afwan mengantar Tia ke Stasiun.
"Iya Ay. Kebetulan di sana ada rumah peninggalan Mamah dan Papah, di sana pun ada resto Mamah juga." Tia tersenyum menanggapi pertanyaan Ayraa.
"Tapi kenapa gak tinggal dulu aja? Mas Afwan kan bisa menempatkan Mbak di bagian Staff kantor." Ayraa merasa kasihan sebenarnya dengan Tia. Bagaimanapun dirinya sama-sama seorang wanita yang pastinya mengerti perasaan satu sama lain.
"Terima kasih. Tapi sepertinya aku tinggal di jogja saja, supaya bisa lebih fokus mengelola resto dan Makam Mamah, Papah juga Ria. Lagian disini aku udah banyak ngerepotin kamu dan Afwan." kekeh Tia berusaha mencairkan suasana.
"Enggak kok Mbak." balas Ayraa polos. "Iya kan Mas?"
Afwan hanya bisa mengangguk. "Kamu di sana sendiri Ti. Kalau ada apa-apa gimana? Kalau disini kan kamu bisa minta bantuan sama aku dan Ayraa. Jangan pernah merasa kita itu di repotin kamu. Karena Aku sendiri sudah menganggap kamu sebagai Adik ku.."
"Tapi aku nya yang gak enak Wan walau kamu dan istri kamu gak ngerasa di repotin." Kekeh Tia lagi.
Baru saja Afwan ingin menanggapi. Tiba-tiba peringatan penumpang untuk kereta Jakarta-Jogja pun telah berseru.
"Kereta ku sudah datang. Terimakasih untuk semua bantuan kalian selama ini, maaf kalau selama ini aku dan keluarga hanya bisa merepotkan. Pastinya aku banyak berhutang budi dengan kalian." Kekeh Tia menatap Ayraa dan Afwan bergantian.
"Ayraa aku minta maaf sebesar-besarnya atas semua sikap Ria jika selama ini sudah mengusik ketenangan rumah tangga kamu. Aku do'akan pernikahan dan keluarga kecil kamu terus lancar dan selalu dalam lindungan Allah." Ujar Tia sambil memeluk Ayraa.
"Aamiin. Begitupun juga dengan Mbak, semoga segala urusan di permudah oleh Allah."
"Aamiin."
"Buat Afwan. Thanks banget buat semuanya. Dan Pesan gue, Jangan pernah macem-macem lagi sama Ayraa. Dan satu lagi, Lo gak boleh maen ke Jogja kalau lo belom gendong keponakan buat gue." Ancam Tia sambil terkikik.
"Buat masalah itu mah gampang Ti. Asal lo izin dulu sama yang bakalan ngandung." Kekeh Afwan sembari melirik istrinya itu.
"Hehe. Pokoknya di tunggu loh.." pernyataan Afwan barusan mengundang semburat merah di pipi Ayraa.
"Yaudah, kalau gitu aku pamit yaa Ay, Wan..." Tia bercipika-cipiki dengan Ayraa. Dan hanya tersenyum dengan Afwan.
Tia berjalan menjauh, Ayraa hanya bisa tersenyum miris di pelukan Afwan melihat Tia pergi. Entah kenapa dirinya ingin menangis melihat sosok Tia yang selalu berusaha tegar walau nyatanya sulit.
"Mbak Tia..." Panggil Ayraa ketika baru saja Tia ingin masuk ke pintu gerbong. Tia pun menoleh mendapati panggilan itu.
Ayraa berlari menuju Tia. Ia lupa akan sesuatu yang ia buat semalaman untuk Tia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Husband ✅
General Fiction#3InSpiritual (On11Desember2016 | On28Desember2016) Karena bagaimanapun Menikah di usia 23 tahun itu bukanlah cita-cita yang di impikan oleh seorang Ayraa Nazeefah Mahveen.