Ketakutan yang selama ini di pikirkan Ayraa terlewatkan sudah. Siluet tentang kejadian beberapa tahun silam sirna sudah, dirinya berhasil melawan semua itu.
Sudah hampir dua minggu kejadian itu berlalu, perubahan pun berputar secara perlahan. Rindu semakin menggebu ketika mereka berjauhan.
Seperti sekarang, Ayraa seperti kehilangan separuh nafasnya ketika Afwan baru saja memasuki boarding room untuk berangkat ke Riau.
Sebenarnya Ayraa ingin ikut tapi Mamahnya kini sedang meminta bantuannya untuk menyiapkan pernikahan anak sulungnya. Faris.
Jadi terpaksa Ayraa hanya bisa mengantar sampai bandara.
"Hati-hati.." Gumamnya di balik kaca besar yang menghalangi dirinya. Afwan pun menjawab tanpa terdengar suaranya. Tapi Ayraa masih bisa membaca mimik mulut Afwan.
Ayraa berusaha untuk tersenyum tulus. Namun nyatanya tidak bisa, air matanya tidak bisa di ajak bekerja sama.
Ayraa tak memusingkan omongan-omongan orang yang bilang dirinya lebay karena di tinggal Afwan keluar kota saja sudah mewek.
Karena entah kenapa, akhir-akhir ini Ayraa merasa bahwa dirinya tidak inginkan Afwan pergi.
"Cepat pulang ya Mas..." Gumamnya di dalam hati.
🍃🍃🍃🍃
"De.." Faris menepuk lengan adiknya pelan.
"De.. Bangun, sudah magrib." ulangnya karena tidak mendapat respon apa-apa dari Ayraa.
Setelah mengantar Afwan ke bandara, Ayraa pulang ke rumah Mamahnya. Selain untuk mempermudah dirinya untuk membantu persiapan pernikahan kakaknya, kepulangannya juga termasuk suruhan Afwan supaya Ayraa tidak merasa kesepian.
"De.." panggil Faris lagi. Kali ini hasilnya tidak nihil. Ayraa mulai menggeliat lalu mengerjapkan kedua matanya untuk menormalkan cahaya yang masuk ke pandangannya.
"Mas Afwan..." pekik Ayraa langsung menubruk tubuh Faris. Untung saja satu tangan Faris berpegangan pada pinggiran kasur. Kalau saja Faris tidak pegangan, bisa-bisa dirinya sudah jatuh dan tertindih Ayraa.
"Alhamdulillah kamu gak jadi pergi. Aku seneng...." Ayraa mempererat pelukannya sampai-sampai Faris susah bernafas. Faris pun diam tak berkutik.
Hening tiba-tiba berpendar. Ayraa masih tetap dalam posisi yang sama.
"De.." bisik Faris di telinga Ayraa. Sebenarnya Faris tidak tega memanggil adiknya untuk tersadar. Tapi kalau lama-lama juga Faris gabisa bernafas.
Dan Hanya dengan satu nada. Pelukan Ayraa mengendur, kini dirinya sepenuhnya tersadar. Bahwa laki-laki yang di peluknya ini bukanlah laki-laki yang menyebut namanya dalam ijab qabul.
"Mas Faris?" Lirihnya polos. Faris hanya tersenyum lemah melihat adiknya.
"Mas Afwannya kemana?" kepala Ayraa kini melongok ke segala arah mencari sosok itu.
"De.. Mas Afwan-mu kan udah pergi tadi pagi ke Riau. Kamu sendiri loh yang antar.." Faris menangkup kedua pipi Ayraa dan berbicara selembut mungkin.
"Astagfirullahaladzim. Aku lupa Mas." Ayraa memejamkan kedua matanya lalu membukanya kembali.
Faris bisa melihat mata sembab itu. Bukan karena sembab akibat tidur, melainkan sembab sehabis nangis. Iya, adiknya itu habis menangis.
Faris hapal betul garis wajah adiknya ketika habis menangis.
"Berat ya di tinggal sama Afwan?" Tanya Faris hati-hati. Ayraa hanya bisa menatap nanar ke arah balkon tanpa mengangguk atau menggeleng apalagi menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Husband ✅
General Fiction#3InSpiritual (On11Desember2016 | On28Desember2016) Karena bagaimanapun Menikah di usia 23 tahun itu bukanlah cita-cita yang di impikan oleh seorang Ayraa Nazeefah Mahveen.