Chapter 3 : Whisper sama dengan telepati

52 6 6
                                    


“Ken, timba air cepat! kakek mau mandi.”
“Kenapa tidak mandi ke sungai saja sendiri kek?”

“Kakek mau mandi air panas, dan juga Persediaan air untuk makan juga sudah menipis. Jika kakek tidak mandi air panas nanti kulit kakek tambah keriput.”

Bukannya aku malas atau apa, tapi mengambil air untuk persediaan bukanlah hal mudah disini. Untuk mengambilnya kau harus turun kebawah lereng gunung sejauh sekitar seribu langkah, lalu jalannya juga sangat terjal dengan batu-batu granit dan rumput yang licin. Akan lebih mudah untuk menampung air dari hujan tapi sekarang adalah musim panas.

“Kupikir mandi air panas di musim panas adalah ide yang buruk kek?”
“Tck…”

Kakek-ku yang sudah keriput itu mendecakan lidahnya lalu mengeluh lagi. Sejak tadi pagi kami hanya mencangkul tanah untuk ditanam ubi kelak, jadi kami berdua sebenarnya sudah mandi keringat. Tanah dipegunungan adalah tanah yang subur karena akan sering ada hujan setidaknya seminggu sekali.

“Kau tau apa hah!!? ini sama nikmatnya dengan makan ubi rebus yang masih panas ditemani segelas kopi. Cepat ambilkan atau kita tidak bisa makan air sampai hujan turun!”

Sindir kakek untuk menyuruhku pergi.

“Baik-baik… tapi karena sudah kesana aku akan mandi dengan tenang terlebih dahulu.”
“Terserah kau saja tapi jangan lama-lama!”

Setelah mengatakan itu aku mengambil beberapa kendi kosong lalu pergi menuruni gunung. Aku sudah hidup digunung ini sejak kecil jadi aku benar-benar sudah terbiasa dengan yang namanya panjat dan turun gunung-lembah. Aku memanggul 4 kendi berukuran sedang dengan sebuah tongkat kayu. Berat kendi kosong dari tanahliat itu sendiri sudah cukup berat tapi aku juga sudah terbiasa dengan hal ini.

Sudah hampir setengah jam aku berjalan lalu batu-batu granit mulai muncul dimana-mana, itu artinya sumber air itu su dekat. Tak lama kemudian sebongkah air terlihat mengalir dari atas kebawah menciptakan riak air ganas dibawahnya, itu adalah air terjun yang cukup tinggi. Warna air terjun yang berkilau diterpa sinar matahari menandakan kalau sumber air ini masih sangat asri. Aku benar-benar tidak sabar untuk melompat lalu menenggaknya langsung kedalam tenggorokanku.

“Segarrr…”

Rasa dari air terjun ini adalah yang terbaik, kau bisa meminumnya tanpa dimasak tidak seperti air hujan yang agak pahit. Setelah tenggorokan cukup terisi, aku baru mulai mengisi air kedalam kendi lalu segera membuka baju dan pergi kebawah air terjun dengan gembira. Sebenarnya kakek menyuruh melakukan sebaliknya sih (isi kendi dulu baru minum).

Jika diperhatikan otot-otot di perutku sangat menonjol dan tubuhku juga cukup tegap berbeda dari tubuh kakek yang cungkring. Yah mungkin tubuh kakek waktu masih muda juga seperti ini. Aku tidak terjun kedalam kolam air tapi berjalan langsung ke pusat air terjun kemudian aku duduk diatas batu granit yang menjadi sasaran terjangan air terjun.

Sambil duduk bersila diatas batu, tangan kurapatkan didepan dada. Air terjun sekarang menerpa seluruh tubuhku yang melindungi batu. Tekanan dari air membuat tubuhmu seakan tertekan kebawah tapi aku juga sudah biasa dengan hal ini. Duduk dibawah air terjun sambil mencoba memfokuskan pikiran adalah salahsatu bentuk latihan kakek. Aku tidak tau apa fungsinya tapi ini cukup menyegarkan pikiran dan tubuhku.

Matahari sudah semakin turun, aku sepertinya sudah duduk dibawah air terjun selama lebih dari 2 jam. Sebelum pergi aku melatih beberapa gerakan silat yang diajarkan kakek sambil membuat air terjun sebagai sasak tinju dan tendanganku.

“Aku harus kembali sekarang atau kakek akan menghajarku.”

Tubuhku terasa sangat segar sekarang tapi mendaki gunung sambil membawa 4 kendi air tidaklah mudah sehingga aku kembali berkeringat saat sampai di rumah pondok. Saat aku sampai kakek langsung menanyaiku dengan wajah cemberut.

Magic Art of Urban [MAoU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang