Bagian 8

1.9K 295 18
                                    



Musim gugur telah benar-benar memeluk London, beku dan berangin. Sisa kehangatan musim panas sudah tandas, suhu turun drastis, hujan deras yang tak terduga mengguyur kota sesuka hati. Meski suhu mulai tak lagi bersahabat, namun tetap saja tidak menyurutkan kesibukan kota metropolitan itu barang sejenak. Seperti malam ini, kepadatan yang mengundang banyak paparazzi tengah terjadi di jantung kota London, para fotografer surat kabar yang sengaja datang karena undangan resmi turut ambil bagian. Cuaca lebih dingin nyaris beku, kota terasa lembab setelah diguyur hujan sepanjang senja. Para pencari berita itu mengenakan mantel tebal demi mengusir dingin, membidik gambar dengan blitz dan bunyi klik-klik tak beraturan dari lensa kamera mereka.

Hiruk pikuk di depan bangunan bergaya victoria, megah nan mewah, kian tampak semarak. Mobil-mobil mahal mulai berdatangan, para valet parkir sibuk membuka pintu mobil dan pelayan dalam setelan jas hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu, sigap memberi arahan pada orang-orang berbalut Armani, gaun malam yang indah, ke kursi yang sudah ditata rapi dalam ballroom.

Salah satu perhelataan pesta termegah di ibu kota akan dimulai sebentar lagi, alunan music klasik dari grup orkestra ternama, berpadu hangat dalam aroma wine dari puluhan tahun silam, memenuhi gelas-gelas kristal di atas nampan para pelayan, hilir mudik, melayani para tamu kelas atas. Paparazzi yang memenuhi bagian depan ballroom, membidik gambar lebih sering ketika salah satu sepupu pangeran Charles datang bertepatan dengan beberapa anggota parlemen dan pesohor Inggris lainnya, membaur ke dalam kemeriahan pesta.

Namun euforia gegap gempita dari pesta pernikahan yang spektakuler itu, tidak sampai melingkupi satu ruangan di sudut ballroom. Ruangan yang dikhususkan untuk salah satu calon pengantin wanita. Scarlett duduk memaku di atas sofa merah muda, dalam balutan gaun pengantin dan makeup wajah yang sempurna, cantik jelita seperti biasa. Pandangan Scarlett menerawang, pucat, tampak sengsara dan nelangsa. Jemarinya yang pucat menggenggam erat buket mawar merah, matanya yang biru cerah berkabut, menahan desakan lara yang siap tumpah kapan saja.

"Jongin."

Tanpa sadar Scarlett menggumamkan nama Jongin, dia merindukan pria itu, sangat rindu. Setahun dianggap sebagai penghianat bukanlah hal mudah untuk Scarlett, dia mencintai Jongin sebanyak pria itu mencintainya, sayangnya dunia tidak berpihak pada mereka. Cinta ini terjalin terlalu lama, terlalu banyak, terlalu dalam, hingga Jongin maupun Scarlett selalu tidak bisa menemukan untaian kata manis untuk menjabarkannya.

Scarlett terkesiap, merasakan seseorang baru saja mengusap bahunya. Scarlett berdiri, terkejut, buket mawarnya beringsut di lantai, terlupakan. Jongin berdiri di depannya, tersenyum untuknya, senyum yang sama seperti senyum yang biasa Scarlett lihat selama tiga belas tahun dia mengenal pria itu. Jongin memandangi Scarlett lembut, hangat, bersama rasa yang masih sama besarnya, saat mereka pertama kali menyadari bila cinta baru saja datang menyapa. Tangan Jongin terulur, mengusap pipi Scarlett yang merah jambu karena menahan desakan air mata.

"Cantik."

Jongin tersenyum lagi, menahan getir yang menyelinap ke dalam relung jiwa ketika pandangan mereka bertemu, mengait dalam ruang rasa yang tak terkatakan. Mereka memilih bungkam, memilih untuk merahasiakan risalah hati yang pada kenyataannya berpendar begitu nyata.

"Maaf, aku tidak bisa menepati janjiku untuk memberikan cincin ibu padamu."

Scarlett menunduk, butiran embun sudah berjatuhan, menetes di atas genggaman tangannya. Ini terlalu sakit, sesak, jantungnya serasa ditikam belati, berkali-kali. Scarlett terisak, bahunya naik turun, dia memaku saat Jongin menariknya, menyembunyikan tubuh gemetarnya di balik kedua lengan. Scarlett semakin tersedu sedan, membenamkan wajahnya di dada Jongin, memeluk pria itu seerat dan selama yang dia bisa, sebelum waktunya habis untuk itu.

The Second OPERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang