Bagian 9

1.7K 302 3
                                    


Sejujurnya Eunji merasa kantuk masih menyandera setengah nyawanya di ujung mimpi yang perlahan mulai pudar, badannya pegal-pegal, matanya sepet dan dia benar-benar tidak berminat untuk bangun dari alam bawah sadar, andai saja Jongin tidak meneriakinya seperti tawanan perang. Pria itu berteriak tepat di telinga, mengguncang tubuhnya sekuat tenaga, mengingatkan bila matahari sudah terbit sejak tiga jam lalu. Eunji mengerang, dia kesal, matanya yang setengah tertutup menatap Jongin, berang.

"Apa?" kata Jongin, dia berkacak pinggang, mengarahkan pandang pada dada Eunji yang terbebas dari selimut.

Hanya butuh dua detik untuk membuat Eunji sadar, lalu serta merta mata sipitnya membulat. Secepat kilat dia menarik selimut, mengumpulkannya di depan dada, waspada, memperhatikan Jongin yang menyeringai, menyebalkan. Sekelebat bayangan kejadian tadi malam memenuhi benak Eunji, malam di mana dia bertingkah seperti maniak. Eunji malu, tapi itu bukan salahnya. Tenanglah, semua yang terjadi semalam hanya efek dari obat perangsang, Eunji mengingatkan diri sendiri.

"Apa yang kau lihat?" kata Eunji, pipinya merah, Eunji benar-benar lupa dia tidak mengenakan apapun di balik selimut.

"Hey, pendek! Jangan berlagak seperti gadis perawan, aku sudah lihat tiap jengkalnya."

Eunji mendelik, dia ingin sekali memaki tapi tertahan rasa malu. Kim Jongin benar-benar menyebalkan, geram Eunji dalam hati. Eunji tidak tahu kenapa dia merasa biasa-biasa saja alih-alih marah dan terpuruk karena Jongin sudah merampas kehormatannya. Surat perjanjian, tekat untuk membalas Sehun dan obat perangsang, dirasa Eunji memacu pikiran masa bodohnya itu. Lagipula, Jongin memperlakukannya sangat manis, seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih penuh cinta yang memang menanti malam pertama.

"Cepat mandi dan bersiap. Kakek sudah menunggumu."

"Kakek? Untuk apa Kakek menungguku."

Jongin memaki lalu berteriak, kesal sekali. "Hari ini kau menemani kakek pergi ke acara amal!"

"Apa?"

"Cepat bersiap!"

Jongin menahan kesal, dia memerintahkan pelayan pribadi Eunji untuk masuk. "Tidak lebih dari lima belas menit." katanya, lalu berlalu dari kamar.

Sementara itu, di kamar Chanyeol suasana terasa lebih tenang, tidak ada tarik urat seperti yang Jongin lakukan pada Eunji. Chanyeol sudah siap dengan setelan jas kerjanya, dia tengah menyisir rambut dengan jari-jarinya, di depan kaca setinggi badan. Dari balik kaca, Scarlett tampak sibuk menata gulungan rambut, membelakangi Chanyeol, duduk di depan meja rias. Chanyeol mendekati Scarlett, tanpa kata dia mengambil alih gulungan rambut Scarlett yang belum rapi, menatanya sedemikian rupa lalu menyisipkan jepit kecil dengan hiasan mutiara merah jambu di bagian ujung sebagai sentuhan terakhir.

"Kenapa rambutmu digelung?" kata Chanyeol, dia hafal Scarlett hanya suka rambutnya digerai atau dikepang.

Scarlett beranjak dari sofa, gadis itu tidak mengucapkan sepatah kata, hanya memperhatikan dasi pastel Chanyeol yang tersemat tidak terlalu rapi. Scarlett merapikan dasi Chanyeol, lalu memejam, pria itu baru saja mengecup keningnya.

"Terima kasih, aku selalu bermasalah dengan dasi."

Scarlett tersenyum tipis, lalu tanpa pernah Chanyeol duga gadis itu tiba-tiba memeluknya, membenamkan wajahnya di dada Chanyeol.

"Bisakah aku tidak pergi? Bisakah aku tidak bertemu Eunji hari ini? Aku----tidak bisa."

"Kau pasti bisa. Kau gadis paling kuat yang pernah aku kenal."

The Second OPERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang