Bagian 2

2.6K 380 52
                                    


"AARRGGHHH!!!!"

Kim Jongin membanting vas bunga kristal berisi setangkai krisan putih yang di genggamnya, hingga hancur berserakan di lantai. Dia geram, marah, muak, hingga rasanya dia ingin menghancurkan semua barang mahal yang ada di kamarnya. Iris cokelat pekatnya membulat, tangannya terkepal kuat, mencoba mengatur napasnya yang masih terengah-engah, memantul di antara dinding kamar yang dingin, senyap, sendirian. Jongin baru saja mendapat laporan dari kaki tangannya, jika hasil pemeriksaan kehamilan gadis yang ditidurinya dua minggu lalu lagi-lagi negatif. Ini sudah gadis yang kesembilan belas, tapi belum ada satupun yang berhasil membuahkan janin di rahim mereka.

Jongin memaki, dia melirik guci yang berjejer rapi di sudut ruangan, meraihnya kasar, lalu membantingnya, sumpah serapah menggelegar di segala penjuru kamar, meluapkan semua pesakitan yang serasa membakar ubun-ubunnya. Kenyataan brengsek itu lagi-lagi membuat Jongin terpuruk, merasa rendah, merasa dipermalukan, merasa dunia memuntahkannya ke dasar jurang getir tanpa peri.

Kim Jongin, pria yang lebih memilih menggunakan marga ibu ketimbang ayahnya, putra kedua salah satu dari sepuluh pengusaha terkaya di negeri Queen Elizabeth, penerus Hemelsky Enterprise (perusahaan penerbangan, mobil mewah dan property) yang bermarkas di London itu, divonis mandul.

"Jong?"

Jongin menoleh, pintu kamarnya sudah terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jongin menoleh, pintu kamarnya sudah terbuka. Seorang pria berwajah cantik, pirang menyala, pucat, sipit tanpa kelopak, berdiri di ambang pintu, dia menatap khawatir seraya bergegas mendekati Jongin.

"Ada apa? Kenapa...,"

"Aku muak, Kim Minseok!"

Minseok sedikit terkesiap, dia mencoba mengusap punggung Jongin yang menegang, dia tahu betul apa yang membuat Jongin sudah mengamuk sepagi ini.

"Aku tahu, tapi kita harus terus mencoba 'kan? Apa kau sudah meminum obatmu hari ini?"

Minseok tersenyum, dia masih mengusap punggung Jongin. Perlahan napas Jongin mulai sedikit teratur, pria itu menurut ketika Minseok menggiringnya ke sofa panjang depan ranjang. Mengenal Jongin selama hampir lima belas tahun, membuat Minseok hafal dengan karakter Jongin yang keras, tidak kenal bantahan dan temperamental. Tidak gampang membuat Jongin mau mendengarkan kata-katanya, tidak mudah untuk mengenal sisi yang sebenarnya dari Kim Jongin, butuh waktu lama untuk bisa memahami pria dua puluh lima tahun itu.

Minseok sudah biasa dicaci maki Jongin, dia sudah kebal dengan semua umpatan dan bogeman Jongin yang terkadang dia dapatkan tanpa alasan yang jelas. Tapi sayangnya Kim Minseok tidak peduli, dia akan tetap menjaga Jongin sampai dia mati, dia akan tetap berada di sisi Jongin meski dunia meninggalkan mereka berdua, dia akan selalu menyayangi Jongin seperti apa yang sudah pernah dia janjikan pada alhamhum ibunda Jongin. Apapun resikonya.

"Jangan lupakan obatmu."

Minseok menyerahkan beberapa obat hormon pada Jongin, menuang segelas air dari teko di atas nakas, lalu tersenyum saat Jongin meminum obatnya tanpa keluhan.

The Second OPERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang