Bab. 2

15.6K 1.3K 127
                                    

Yue

Aku terbangun di malam hari, merasa tak tenang tinggal di tempat asing seperti ini. Bahkan walau kenyataannya itu kamar terbaik yang pernah kutempati, juga pekerjaan dengan gaji termahal yang pernah kulakukan.

Rasanya terlalu aneh jika dipikirkan baik-baik, untuk apa kakak beradik itu membayar ku semahal itu hanya untuk mengasuh anak yang bahkan jarang muncul?

Aku yakin mereka punya niat lain padaku, tapi bagaimana cara aku mengetahuinya jika Vance maupun Vella sangat jarang muncul?

Ini sudah tiga hari aku tinggal di sini dan sehari pun aku tak menemukan salah satu dari manusia berambut pirang itu. Hanya anak kecil dengan perilaku aneh yang selalu datang di pagi hari untuk meminta makan sebelum ke sekolah.

Kuputuskan untuk melukis saja, menghabiskan waktu sambil menunggu matahari terbit. Menggunakan peralatan gratis di ruang kerja Vance, walaupun aku tak tau punya siapa... Tapi siapa yang peduli? Salahkan pemilik rumah yang jarang pulang itu.

Tak lama, aku pun hanyut dalam dunia milikku sendiri, asik menoleh warna-warni di atas kanvas. Hingga suara pintu yang dibanting mengejutkan ku.

Vance, masuk ke dalam sambil marah-marah pada seseorang di seberang telepon. Berjalan dengan langkah gontai ke sofa di pojok ruangan, ia pun menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa itu dengan keadaan yang tak cukup baik.

Di lengan dan kakinya terlihat begitu banyak bercak darah, juga dari punggungnya terlihat luka gores yang cukup panjang, terus mengeluarkan darah dari bekas sobekan kemeja yang ia kenakan.

Aku khawatir, bagaimana kalau luka itu terus mengeluarkan darah dan dia mati? Lalu siapa yang akan membayar ku? Atau lebih buruk lagi, aku yang dituduh membunuhnya.

Baiklah, terpaksa aku harus merawatnya. Bagaimana pun juga, dia masih bosku kan?

Segera kutinggalkan palet dan kuas yang sedang ku pegang, berjalan ke arahnya sambil membawa sekotak tisu yang tersedia. Kalau soal obat, lihat nanti saja... Siapa tau dia punya stok.

“Apa yang kau lakukan!!” Bentaknya saat aku menyentuh lengannya. Tak tampak terkejut sama sekali dengan kehadiranku, sepertinya ia sudah melihat ku terlebih dahulu saat masuk tadi.

“Mencoba merawat mu, Tuan.” Jawabku datar, memperhatikan lebih rinci luka-luka itu.

Dia mendengus sebal, menendang bahuku menggunakan sepatu yang berlumuran darah. Menjijikkan... Aku harus ingat menagih ongkos laundry nanti.

“Aku tak butuh belas kasihan darimu!” Ketus Vance, memberi sebuah tatapan angkuh.

Aku menghela napas lelah, jika saja dia tidak kaya raya dan mudah ditipu untuk mengeluarkan uang banyak demi gengsinya itu, aku tak akan sudi peduli padanya.

“Siapa bilang aku kasihan padamu? Aku hanya tak mau kau mati dan aku berakhir menjadi pengangguran yang tinggal di jalanan lagi. Yah... Kalau kau mau menuliskan wasiat atas namaku sih aku tak peduli kalau kau sampai mati kehabisan darah.”

Mendengar balasan ku, ia mengumpat marah. Menyalahkan kakaknya yang membawa parasit seperti ku ke rumahnya.

Sedangkan aku cuek saja, menyeret paksa tubuhnya yang cukup berat itu ke kamar mandi, melemparinya dengan agak kasar ke bawah shower.

Bukan untuk melakukan pelecehan atau menyiksanya agar mau menuliskan wasiat untuk ku kok, aku hanya berniat membersihkan tubuhnya agar aku tau bagian mana yang benar-benar terluka. Soalnya aku tak yakin seluruh darah yang menempel pada tubuhnya itu darahnya sendiri.

Aku tak bodoh, cukup tinggal satu malam di rumah ini... Aku sudah bisa menebak kira-kira pekerjaan apa yang ia tekuni. Gudang senjata, laboratorium dengan bahan peledak serta racun, ruang latihan menembak pribadi dan puluhan manusia berpakaian serba hitam keluar masuk dengan bebas. Kalau bukan mafia apa lagi?

OBSESSION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang